Aku 23 dan Aku Takut

Durasi membaca: 11 menit

Saat seseorang selesai masa studinya… Terjunlah ia ke dunia nyata…. karena secara hakikatnya, tanggung jawab orang tuanya sudah selesai, jadi jalan hidupnya sepenuhnya terserah ia.

Beberapa bulan terakhir aku sering menerka ulang peristiwa sejak mulai kuliah hingga sekarang… Apa yang berubah? ekspektasi apa yang awalnya aku targetkan? sekarang aku berada di mana?

Backstory

Sebelum masuk univ, aku gap year setahun, utamanya karena nasib gak lolos SBMPTN, dan liat biaya masuk mandiri kayak eman gitu. Tapi melihat sisi baiknya…. baik lah aku gap year, yang penting tujuanku tetap di perkuliahan yang isinya ngoding. Jadi selama setahun itu aku jump start, kira-kira materi apa ya yang belum aku kuasai tapi pasti dipakai pas kuliah?

Sudah bertahun-tahun sejak 2013 aku mendalami game development… Ada hasrat ingin menekuni itu saja, namun membuka mata… Skill ini gak relevan di +62, lebih masuk akal aku belajar website meski dari nol, karena bidang itu yang pasti banyak dicari di negara ini. November 2017, domain ini (wellosoft.net) aku beli buat modal belajar website.

Aku masuk univ dengan kondisi luar biasa unik. Bukan sombong, tapi karena aku paham materinya bahkan sebelum masuk kuliah, jadi sering diandalkan. Ditambah lagi skill kerjasama dalam ujian (jangan ditiru ya) yang berakar sejak sekolah, aku kuliah merasa seperti kembali sekolah… Kuliah kayak gaada bebannya. Tahun kemudian, semester 2 ada kesempatan magang di rektorat… Aku ambil dan goal… Alhasil menjadi relasi yang berakar-akar menjadi banyak project selama aku kuliah….

Mulai dari situ aku mikir… Enak ya kerja by project, fleksibel kerjakannya setemunya mood, sampai punya strategi biar semuanya bisa dikerjakan “dalam sehari”. Sempat terbesit pemikiran, asalkan relasi kenceng, dan hasil kerja yang bagus, project (dan rejeki) itu gak bakal habis, eventually mungkin habis kuliah bakal begitu seterusnya sambil ngusahain bikin “passive income” lain seperti DOM Cloud dan semacamnya…

Reality

Dulu aku gak suka, lebih tepatnya, “takut”… Buat kerja full time di instansi. Karena ngantor dan posisinya sulit, yang elit-elit ada di Jakarta doang dan semacamnya. Malangnya, nasib mengharuskanku mengambil sebuah pekerjaan segera saat semester 7. Untungnya melalui relasi itu, aku dapat pekerjaan yang lumayan, dan ajaibnya, bisa remote dan sambil menyelesaikan studi. Awalnya aku mikir-mikir…. Tapi dijalanin, not bad juga.

Secara umum, punya pendirian yang kuat itu bagus… Namun makin dewasa harus paham keadaan, sesuai besaran tanggung jawab masing-masing. Meski secara logika, kerja full time ini bisa dibilang tambahan yang “lumayan” disamping project lain…. posisiku saat ini berbahaya apabila jika main cabut dari perusahaan, karena kerja full time membuatku sulit untuk menerima project lain, sehingga gaada sumber income utama lain selain kerja… butuh waktu yang signifikan untuk ngencengin relasi kembali biar pemasukan project deras lagi.

Eventually aku menjadi pekerja pada umumnya, living by paycheck-to-paycheck. Agak kecewa karena kesempatan improvisasi ku “hilang”… naik dari tangga korporat juga bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Bukan berarti aku tidak bersyukur sih.. Dikasih kesempatan untuk langsung kerja bahkan sebelum lulus itu privilenge unik tersendiri yang gak semua orang punya, tapi deep dalam hatiku ada pertanyaan yang mengganjal… Apa iya dari masa muda begini endingnya menjadi budak korporat seumur hidup?

Enlightenment

Aku masih menerka nerka tentang wisdom atau pepatah dari orang bijak nan sukses, apakah ada insight tambahan yang bisa meyakinkanku keluar dari jebakan privilenge kali ini….

You Are Who You Surround Yourself With

This YouTube Video

Aku pernah diceritain ada orang yang suka loncat perusahaan sampai kerjanya di Google.
Aku juga pernah mendengar tentang ambisi seseorang untuk bisa kerja dari rumah.
Aku juga pernah mendengar dari orang yang tujuan karirnya menjadi dosen PNS.
Aku juga pernah mendengar dari seseorang yang memburu selain pekerjaan.
Aku juga pernah mendengar dari orang yang gak buru-buru tentang apapun.

Jika diselidiki, masing-masing punya keyakinan yang kuat dan logis. Apapun itu, tidak ada yang salah tentang tujuan hidup atau lifegoal tersebut, sehingga tidak ada pula jalan hidup atau lifepath yang absolut, pasti berbeda sesuai dengan situasi dan keyakinan masing-masing.

Disinilah “jebakan privilenge” yang aku maksud. Jika aku bertanya pada teman-teman sepantaranku, apakah posisi kehidupan sepertiku sekarang sudah ideal… Rata-rata akan menjawab iya. Bahkan bisa jadi mereka sudah menjadikanku sebagai patokan sukses… Maksudku… berapa % kemungkinan orang bisa masuk kerja fulltime pada perusahaan unicorn sebelum umur 23? Dua tahun yang lalu aku gak ada bayangan hal itu bakal terjadi padaku, yet that happens.

Jadi pertanyaannya… Apakah “pencarian jati diri”-ku selesai disini… atau dengan kata lain apakah mulai di umur ini aku harus bersyukur dan menerima bahwa ini adalah endgame-ku sebagai “budak korporat”…. atau bukan?

My Why

Guruku mengatakan umur 20-an adalah umur yang crucial… Periode umur ini adalah transisi setelah lepas dari tanggung jawab orang tua dan sebelum punya tanggung jawab terhadap generasi masa depan. Gak heran juga banyak inspirator bilang di umur segitu kita harus kerja keras sampai diumpakan untuk “rela ngesot” demi berguru pada orang yang sukses di pandangan kacamatamu.

Sejak masuk kampus hingga sekarang aku melakukan banyak progress dan perubahan… Yang awal masuk kampus jumlah project di GitHub mungkin cuma 10… Sekarang ada 150+ lebih, kebanyakan adalah project gagal. Intinya aku nggak betah sehari gak ngapa-ngapain. Ada sebuah semester dimana aku “underperforming” atau merasa gak ada progress diluar kampus yang dimana itu membuatku takut sampai harus memotong koneksi dengan orang-orang yang aku anggap beban di masa itu.

Sekarang, bahkan setelah lulus, aku masih berkutat dengan banyak hal diluar kerja. Aku masih terbayang dengan kutipan dalam buku Merry Riana: Pernah saat beliau magang di perusahaan Singapura ternama, beliau bertanya dengan senior yang bekerja disana…. Ternyata sudah bekerja disana 10 tahun lebih, dengan posisi dalam perusahaan yang hampir sama. Itu membuat beliau merasa tidak cocok bekerja dalam perusahaan hingga move on dan lanjut sampai “sukses” dan menjadi motivator ternama sekarang. Somehow, itu senada dengan pikiranku saat ini.

Jadi apa yang harus kulakukan? Tentunya gak mungkin seperti mbak Merry. Namun sekali lagi, tidak ada lifepath yang absolut. Yang bisa aku jiplak dari buku itu, adalah mindsetnya, yang juga ditulis dengan mbak Merry sendiri dalam buku tersebut.

The Mindset

Satu yang aku pelajari dari buku itu adalah… Hidup itu analoginya seperti naik kereta. Kalau mau naik kereta harus tau tujuannya mau kemana, meskipun harus beberapa kali transit. Kalau tidak demikian, bakal ngikut aja sesuai arus, dibawa kekiri dan kekanan tanpa tujuan yang jelas. Sama dengan hidup, harus ada pegangan kuat yang mendikte bagaimana kamu bergerak.

Saat aku kuliah, aku punya pegangan untuk memperbanyak “relasi” yang hopefully bakal ngecover supply project di masa depan. Sekarang kalau mau balik ke filosofi itu sepertinya kurang pas, karena satu peristiwa yang bikin aku open minded… Anehnya, itu adalah saat aku bimbingan skripsi.

Aku pernah ditanya kenapa aku underperforming saat menyelesaikan skripsi… Pembahasan ini ditanyakan berkali-kali, tentu beliau sudah tau kalau kondisiku udah kerja fulltime. Namun kali ini, masa-masa akhir deadline skripsi… Beliau memulai percakapan itu… “Itu bukan karena uang kan?”.

Tentu aku gak bisa jawab…. Hening selama beberapa menit, beliau meneruskan….

“…. Ada alasannya mas, kenapa kita menjadi dosen. Sebenarnya saya bisa kerja di perusahaan cuma berapa jam aja… pun gajinya lebih besar daripada disini. Tapi saya lebih memilih menjadi dosen meski ngurusi banyak mahasiswa yang justru suka mbulet urusannya… Karena itu barokah

Barokah… Berkah… Atau usaha untuk membuat diri berguna untuk orang banyak… Itu adalah satu kata yang tidak pernah aku sangka, keluar dari kata-kata beliau yang sangat ditakuti oleh mahasiswa karena ke-objektif-an beliau dalam memprovokasi mahasiswa agar berpikir dalam-dalam dan menguji keyakinan mereka untuk mempunyai pondasi why yang kuat.

Sejak itu aku mengaca diri… Bagaimana bisa… Aku punya kapasitas otak yang mayan, logika yang tinggi, tapi tidak punya kapasitas why sedalam itu?

Belajar Lagi

Aku bertemu dengan guru MTsN yang kenal dekat denganku di suatu acara alumni kemarin… Beliau bertanya apakah aku sudah lulus… Aku jawab, sudah kerja… Bertanya lagi “Masih ada rencana untuk studi lanjut?”, iseng saja aku menjawab “Ya”… Beliau meneruskan obrolan itu dengan meneruskan perjuangan dari mendiang ayahku yang dulu seorang dosen… kemudian obrolan itu endingnya membahas tentang dampak manfaat… atau barokahnya apabila mengajarkan ilmu/menjadi dosen daripada ilmu itu dipakai sendiri untuk keperluan perusahaan.

Memang… apabila kita bertanya pada orang yang berkutat pada pendidikan, studi lanjut itu saran yang masuk akal… Mungkin pendapat mereka bias, namun aku lahir ditengah dunia pendidikan (apalagi orang tuaku adalah guru dan dosen Agama), serta domisiliku berada di tengah kota pendidikan berada diantara 2 pesantren besar, yang aku juga nyantri disana meski cuma beberapa tahun.

Beberapa orang mungkin berpendapat, identitas atau jati diri kita masing-masing tidak harus sama dengan background atau masa lalu kita… Apalagi dengan orang tua. Namun diamati dalam-dalam, sebenarnya ada beauty atau keindahan dalam pendidikan ini… meski caranya masih kuno. Mungkin hanya yang survive sampai lulus dan mau menghayati masa studinya bakal bisa merasakannya…

Jadi…. Apakah aku akan studi lanjut lagi? Harusnya… tapi gimana dengan kerjaan sekarang?

Sebenarnya ada program studi lanjut yang bisa disambi dengan bekerja. Namun dipikir kembali, untuk posisi kerjaku sekarang kayaknya nggak mungkin. Ditambah lagi, gak akan bisa aku menghayati atau totalitas selama studi belajarnya kalau disambi kerja. Kalau mau lepas dari itu… Beresiko, karena keluarga bergantung pendapatanku yang “pas” hingga sekarang.

Resiko sebesar itu, apakah worth it… demi sebuah lembar kertas?

My Pain

Bagi orang rata-rata, ngerjakan skripsi itu hal yang biasa… Namun spesifik untuk skripsiku…. itu adalah salah satu event penting dalam hidup yang gak bisa aku lupakan… Mari ku ceritakan…

Pembimbingku ada dua dosen…. sudah doktor, ditambah tiga penguji yang “dipilih”, semuanya serba teliti dengan isi skripsiku sampai ke akarnya. Tidak mungkin aku lolos dengan topik skripsi yang gampang begitu saja. Skripsiku membutuhkan hampir 40 kali bimbingan rutin tiap minggu dari Maret sampai Desember…. harus ada progress tiap minggu. Ditambah kerja fulltime, serta project-project sampingan lain… Mau tak sempatkan dimana skripsi?

Mungkin aku terlalu mendramatisasi.. Tapi aku introvert… Pikiranku kacau kalau ada banyak hal yang perlu dikerjakan bersamaan… Gak terlalu bagus dalam multitasking. Ada satu waktu dimana aku feel drop dan menangis…. Gak mungkin ini semuanya bakal selesai tepat waktu? Parahnya lagi… Aku merasa saat itu aku butuh waktu spare sejenak, tapi mau galau seperti apa, waktu tetap berjalan… Gaada waktu buat healing sejenak..

Posisiku sekarang seperti orang pincang masih dipaksa lari

My tweet at that time

Waktu berjalan… Eventually selesai. Wkw. Kalau orang mengira skripsiku pasti bakal selesai tepat waktu… You can’t feel my pain 🙂 Sebenarnya aku merasa ini sebuah keajaiban bisa selesai pas Desember itu…

Sebenarnya aku bisa pakai topik skripsi yang mudah… Akupun awalnya pengen cari dosen yang aman2 aja… Sadar diri gak bisa idealis karena waktuku terbatas, yet that happens.

Tapi yang membuat semua drama ini worth it, adalah masukan dari dosen-dosen tersebut…

“Saat seminar proposal saya melihat adanya sikap defensive… Tapi saat sidang skripsi… Saya tidak melihat itu…. kok bisa?”

Dosen-dosen pembimbingku pun juga memberikan sikap bangga… dikarenakan perbedaan sikap antara sebelum dan sesudahnya… Itu signifikan… Trend grafiknya naik, meski tidak naik sempurna.

Jadi apa yang berubah?

Komunikasi

Saat itu aku sedang banyak menerung… Jadi banyak up story tentang improvisasi diri…
Malam itu aku ditelpon sama teman lama…

“Kok bisa EQ mu naik?”

Heh… Kata-kata macam apa itu? wkw

Aku clueless juga, masih menerka-nerka kenapa….

Tapi yang jelas, saat itu aku merasa stuck.. Ada sesuatu yang harus berubah… Jadi aku lari ke media podcast….

Ada salah satu podcast yang senada, yang tepat sekali aku butuhkan saat itu… yaitu dari Simon Sinek, motivator yang menggebu-gebu tentang komunikasi…

Communication is not about speaking what we think. Communication is about ensuring others hear what we mean

Simon Sinek

Aku segera mempratekannya pada teman dekat, kang barista, kang tahu tek… Hmm enak juga ya bisa ngomong....

Eventually dosen pembimbingku membuka suara sebelum aku naik sidang…
“…….Mas, kekuranganmu ada di komunikasi…..”

Beruntung sekali aku menyadari itu tiga bulan sebelumnya.


Jadi, hal seperti apa yang harus menjadi patokan bahwa studi lanjut itu harus worth it?

IQ, EQ, SQ

Beberapa bulan terakhir aku meninjau aspek seperti apa bahwa seseorang itu “terbaik”.. Maksudku hal apa yang bisa diukur… dan pasti tinggi pada top 1% dunia….

Aku mencari banyak konsep… Dan settle pada konsep IQ, EQ, SQ.

  • Intelligence Quotient: Paham kuat terhadap logika
  • Emotional Quotient: Paham kuat terhadap empati
  • Spiritual Quotient: Paham kuat terhadap keyakinan

Jika aku meng-asses diri sendiri… IQ-ku sudah diatas rata-rata… Dilihat dengan banyaknya decision yang aku ambil berdasarkan logika.. Mungkin terlalu logis. Aku juga membaca… IQ/logika yang tinggi juga merupakan faktor utama seberapa gampang orang itu masuk dalam dunia kerja.

Jadi masuk akal apabila yang selalu aku asah adalah logika… Yang pasti dibutuhkan saat ngoding berbagai ukuran kompleksitasnya… Yang juga termanifestasi kepada kehidupan melalui tulisan deep content yang aku pratekkan melalui tulisan di platform ini dan lainnya bertahun-tahun. Dari sini dapat dikatakan… kekuranganku telak ada pada EQ dan SQ.

EQ ku sangat kurang, bahkan menjadikan sikap defensive terdeteksi pada seminar proposal… Dan secepatnya aku lawan dan buang… Itu pun masih kurang… Aku masih minim bersuara, kurang berpikir deep secepat bersuara, kurang mahir melempar jokes, sulit mencari topik bicara, banyak hal lainnya.

SQ jangan ditanya… Makin minus. 4 tahun studiku isinya manipulatif semuanya… Benar aku membantu banyak teman, tapi caranya tidak baik… Berimbas mereka hilang kesempatan untuk menjadi yang lebih baik. Ketika logika lebih kuat daripada keyakinan… Benar aku mendapat relasi yang aku inginkan, tapi mereka yang belum sadar bakal tidak akan tertolong… Hilang kesempatan mereka untuk belajar bak seperti aku menjadikan mereka batu loncatan. (ini adalah reaksi dosenku saat aku beritahu caraku memberikan chat pada teman sekelas saat semester awal-awal, serius)

Disinilah mengapa… Agar studi lanjutku worth it… Aku harus pastikan EQ dan SQ ku naik dari lingkungan itu… This must become my mantra today and upward. Dan itu hanya terjadi apabila lingkungannya sulit dan aku totalitas untuk itu. Aku harus menciptakan suasana itu kembali apabila ingin kedua itu naik.

Maka dari itu… Aku takut.

Connecting the dot

Steve Job dalam salah satu pidato legendarisnya… Menjelaskan tentang “menghubungkan titik-titik”

You can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future.

Steve Jobs

Aku sempat berpikiran… Kenapa aku gak memilih hidup yang simpel-simpel aja… Kenapa semua kejadian ini serba ekstrim yang gak ada panduan atau kiblatnya sama sekali.

Connecting the dot itu sama dengan menerima masa lalu. Artinya bukan melihat itu sesuatu yang kita harus move on… Kita harus bisa belajar dari itu. Jika aku menerima konsep itu… Logis aku harus menerima kalau kehidupanku didesain untuk mengambil langkah ekstrim… dari dulu sudah begitu.

Keputusanku ini sudah logis dan selaras. Big power comes with big responsibility.

Aku sudah sering kali dengar dari temen… “Pengen pinjem otakmu, wil” wkwkw.. Apa spesialnya otakku? Tapi kalau emang dianggap privilenge… Berarti emang tanggung jawabku harus diasah sekencang mungkin agar bisa membuat otak ini sebisa mungkin bermanfaat untuk banyak orang, atau dengan kata lain…. barokah.

Wallahu a’lam.