Cita Cita Paling Jauh…

Durasi membaca: 10 menit

Ada satu cita-cita yang dulu sempat terbesit namun lama-lama memudar dan aku yakin nggak bakal terwujud bahkan di umur 30 atau 40… Atau mungkin seumur hidup.

Intinya… bagaimana cara mendongkrak sektor produksi pangan di Indonesia.

Berkutat di teknologi, persisnya di depan laptop terus menerus, sebenarnya membuatku merasa miris. Berada di depan laptop lebih dari 12 jam sehari, seperti hidupku itu bergantung sepenuhnya dengan skill ini. Tapi apakah berkutat didepan laptop merupakan kebutuhan pokok manusia? Nggak, kita nggak bisa makan pakai kerjaan didepan laptop secara langsung. Jadi sebagai spesies yang hidup dimuka bumi ini, aku merasa aneh seperti aku tidak berkontribusi pada global pangan dunia sama sekali tapi aku sekeluarga selalu bisa makan berkecukupan sampai sekarang.

Yang aku takutkan seharusnya nggak bakal terjadi dalam tempo dekat… Namun melihat tweet ini, aku jadi mikir dua kali.

Indonesia adalah tanah agrikultural terbaik karena berada di tengah garis tropika, namun gak semua penduduknya bisa menikmati dengan cukup. Kenapa?

Sayangnya aku bukan anak jurusan ekonomi, jadi aku cuma bisa membahas dengan perspektif subyektif, dari yang aku amati di lingkungan sekitarku.

Untuk masa sekarang, aku lihat dalam circleku, gak ada yang merasa cari makan itu susah. Alhamdulilah sih, makanan di Indonesia masih tergolong murah dan terjangkau. Kebanyakan remaja saat ini insecuritasnya bukan masalah kebutuhan pokok, dan itu indikator yang bagus… Untuk sekarang.

Yang Aku Takutkan

Aku takut generasi orang Indonesia jaman sekarang pada gengsi dan mempunyai pikiran arah hidup sama berkat urbanisasi apalagi di tanah Jawa. Aku yakin, anak zaman sekarang yang udah ngerasain pegang Hape, gak pengen kerja kotor apalagi panas-panasan di pematang sawah. Dan pantangannya menjadi petani/produsen pangan nggak cuman itu, bayaran juga dibawah “standar” karena harga pokok juga harus ikut harga pasar.

Alhasil, bahkan anak petani pun pasti ditutur biar “jangan jadi petani”, mungkin mereka bahkan berani utang sana sini biar anaknya bisa kuliah dan cari pekerjaan yang lebih mapan buat dirinya sendiri sukur-sukur juga ngangkat ekonomi keluarganya.

Itu yang aku bikin takut: Jumlah petani di masa depan, kalau nggak tetap, ya berkurang. Kalau semua generasi muda sekarang bisa punya HP dan pasti tujuannya kuliah, berapa % mereka mau jadi produsen pangan kembali alias kembali jadi petani dipematang sawah? Ya, sekarang bermunculan startup kayak TaniHub dan bermacam-macam ide startup dari generasi muda agar “kontribusi” di sektor pangan tapi mereka kan berkutat di teknologinya, yang mau jadi petani itu siapa?

Efek yang terjadi belum kelihatan parah untuk sekarang. Namun mungkin 1-2 generasi berikutnya, jika dibiarkan, gak cuma “makanan sehat” yang mahal, bisa-bisa makanan pokok juga ikut-ikutan mahal, karena jumlah petani (dan lahan sawah!) yang mungkin bakal turun dengan signifikan.

Aku gak ingin bahasan ini endingnya menggantung, atau dijawab dengan terlalu gampang “Ya apa kata pemerintah”. Jadi aku mau cerita dikit.

Backstory

2020 silam aku sempet berpikir buka ternak lele bareng temen kuliah. Tertarik pula konsepnya karena perputarannya kalau diteori dalam kertas (Aku nulis PKM tentang ternak lele) sepertinya menguntungkan. Kami bahkan sampai cari tetangga2 dari temenku yang punya kolam lele gak terpakai, barangkali bisa disewakan.

Niatku terurung saat tau kalau sebenarnya ternak lele seperti ini untungnya kecil. Bahkan udah dikasih tau sama pemilik kolam itu, makanya gak lanjut dari bertahun2 dulu. Aku pun baca2 di sebuah artikel, peternak lele katanya bisa dihitung jari di daerahku. Aku pernah bilang ke bapakku soal ternak lele, katanya karena untung dikit, butuh telaten, ditambah lagi kuliah, hal seperti itu mau bakal sulit buat survive. Jadi ya sudahlah.

Fast forward ke 2021, bapakku mulai coba membangun bisnis disekitar budidaya ayam kampung. Bapakku termotivasi sama pak lurah di daerahku yang punya pabrik ayam potong yang sangat besar sampai pak lurahku (yang tentu udah kaya) bisa bikin pondok masjid segala macam, pengen punya tabungan pensiun yang sama.

Strategi bisnisnya cukup cerdik. Bapakku mulai dari budidaya ayam kampung dari kecil sampai jadi banyak. Bapakku tahu ayam kampung kalau dijual dagingnya langsung itu keuntungannya kecil jadi tahun depannya dibangun resto ayam kampung disamping rumah untuk menaikkan keuntungan dengan cepat. Harapannya kalau sudah ramai bisa buka cabang termasuk budidayanya juga makin rame…

Alas, waktu dan takdir berkata lain. Karena gak ada yang telaten seperti alm. Bapakku, sekarang ayam-ayam itu udah dipotong habis semua. Resto nya masih jalan (mungkin?), meski cuma pesanan doang dan ayam nya hasil beli semua. Ya sudahlah.

Wkwkw makin dark aja bahasannya.

Untukku

Ada advantage terhadap kondisi hidupku yang aku sadari belum terjadi pada teman sepantaran di circle ku.

Umurku masih 22, dan masih kuliah. Namun sudah punya pekerjaan tetap yang fleksibel dan punya pasif income yang jalan bertahun-tahun.

Teman-teman sepantaranku rata-rata insecure tentang kerja dimana, doi siapa wkw. Tapi aku sendiri sudah bisa mengcover satu keluarga, gak insecure masalah keuangan, bisa cari makan/kafe sepuasku, dan bisa menabung.

Umurku yang masih muda dengan finansial yang stabil membuatku punya kesempatan tanpa rasa khawatir kondisi orang rumah bagaimana, apalagi banyak saudara disekitar rumah, serta anak pondok yang ikut dirumahku semenjak bapakku masih ada buat jagain ibukku dan adik2ku… itu semua sebuah anugrah dari Gusti yang gak bisa aku lupakan, entah kebetulan disetting oleh bapakku atau tidak.

Cukup memuji diri sendiri. Aku hanya ingin mengingat pada satu mantra yang selalu aku ingat dari kecil: Aku ini spesial.

Mantra itu seperti paradox, karena semua manusia itu sama, dan udah diajarkan dari ilmu pondokan, gak boleh kita punya rasa sombong sedikitpun. Tapi mantra seperti ini membuatku jadi tanpa ragu untuk jadi juara MTK di waktu MI, ngoding di waktu MTs, jualan produk digital di waktu MA. Siapa yang menyuruhku ngoding waktu itu? Orang tuaku nggak tau apa itu ngoding, apalagi suka heran ngapain aja aku 12+ jam suka mantengin laptop. Untungnya, karena aku bisa jualan produk digital sejak waktu MA, aku bisa membuat orang tuaku percaya pada jalanku sendiri. Entah bagaimana jadinya jika aku dulu gak mulai jualan produk itu dulu……

Aku ingin sekali berkutat jadi produsen pangan. Aku tahu meski secara teori doang, masalah pangan kita sebenarnya sudah diselesaikan sejak penemuan amonia pada abad 20-an, yang membuat populasi manusia mampu naik dari jutaan menjadi milyaran tanpa perang soal bahan pokok. Aku perlu bikin teknologi dan bisnis yang tepat agar membantu produsen pangan jadi semurah mungkin mulai dari masalah di akar-akarnya.

Sayangnya, aku bukan Elon Musk atau Bill Gates. Semua itu butuh bakar-bakaran duit dalam angka milyaran. Percuma dipikirkan sekarang tapi aksinya nggak ada.

Rencanaku

Jikalau aku sudah menganggap diriku nggak spesial, punya struggle dan insecurity yang sama dengan remaja lain, mungkin aku sudah buang jauh angan2 untuk memajukan sektor pangan di masa depan.

Mimpi besar juga butuh effort yang besar. Tapi aku nggak ingin terburu2 juga. Nggak mungkin sekarang aku balik budidaya ternak lele/ayam lagi apalagi dengan pengalaman 0 kan…

Yang harus kulakukan adalah… Sebelum membuka kembali tentang angan2 ini…Aku harus mencapai financial freedom terlebih dahulu… Secepat mungkin…. Idealnya sebelum umur 30 atau punya keluarga kedua.

Pikiran macam apa ini…. Tidak seperti anak muda lainnya… Wkw.

Awalnya aku berpikir rata-rata. Rata-rata anak muda cita-citanya gak pengen muluk2.. Antara cuma pengen bisa kerja sampai punya aset/passive income. Karena aku sudah kerja dan kuliah tinggal skripsi doang.. Kalau nggak mikirin cita-cita yang jauh ini, mungkin aku bisa bilang struggleku yang isinya terus kerja siang malam di depan laptop tanpa henti bakal selesai tahun depan pas udah lulus, tinggal cari jodoh, punya keluarga, dll. kayak sesimpel itu hidup.

Jadi kenapa harus aku bela2in angan2 itu segitunya? Karena mantra itu, aku merasa eman jika tidak diteruskan. Aku merasa jika aku tidak struggle lebih lama lagi, aku seperti menyia-nyiakan nikmat dan kesempatan yang udah diberikan Gusti kepadaku, dan itu adalah kesombongan yang levelnya lebih parah lagi daripada sombongnya manusia dengan manusia.

Dengan semua pemikiran ini.. Aku ingin banting tulang lebih parah lagi. 2023 aku terus berusaha siang malam agar semoga aku punya lebih banyak jalan passive income melalui merintis banyak startup… mungkin 3-4 startup tech biar mindset bisnisku jalan. Dan di penghujung 2023, setelah memulai banyak startup, aku ingin masuk ke studi lanjut S2 sehingga masih punya mindset peneliti di masa depan.

Harapanku, 2025 aku sudah punya gelar S2 untuk membuka gerbang banyak penelitian, serta cukup income dan skill bisnis tuk memulai inisiatif cita-cita yang paling jauh itu.. Cepat atau lambat.

Satu hal yang aku khawatir dari semua pilihan hidup yang beresiko ini adalah mungkin aku bisa gila dunia dan lupa dengan tujuan hidup yang utama, beribadah. Tapi umur segini kalau nggak struggle sampai ngesot juga salah, karena aku nggak ingin menyisakan hidupku dengan menyalahkan umur segini aku ngapain aja.

Yah, andaikan ada seseorang ntar yang bisa ngereminder soal ibadah trus menerus wkwkwkw. Uhuk.

Untukmu

Artikel ini berisi 80% reminder untukku, mungkin 20% sisanya untukmu, jika kamu adalah remaja muda yang mempunyai insecurity yang kurang lebih sama.

Semua orang mempunyai struggle dan insecurity yang berbeda-beda. Aku nggak mau tahu apa itu. Artikel ini nggak dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah spesifik yang kamu hadapi saat ini. Maaf terdengar seperti pesimis tapi mari kita kembali fokus ke bahasan artikel ini:

Aku tadi membicarakan soal mantra yang bener-bener aku pegang sejak kecil. Ya, itu memang senjata pamungkasku.

Hanya saja, mungkin nggak bisa kamu terapkan dalam hidupmu. Mungkin kamu nggak menganggap dirimu spesial, punya banyak masalah yang perlu dibenahi namun nggak bisa diselesaikan sendiri ataupun enggan dibicarakan itu pada siapapun.

Aku ingin mengasih tau hal lain yang aku pelajari selama memegang mantra itu 10 tahun lebih:

Gak ada orang yang peduli padamu, kecuali orang-orang yang peduli kalau kamu hidup. Itu bisa berarti tiga hal.

Pertama, dalam konteks orang yang benar-benar peduli kalau kamu hidup, kebanyakan adalah orang tua. Sepahit apapun realita, aku berusaha untuk nggak pernah bohong pada orang tuaku. Umur 15, aku kasih tau bapakku aku punya pendapatan digital, bapakku selalu minta transfer, tak transfer semua tiap bulan, gak keberatan. Umur 20, aku dikejar cewek, aku ketauan karena aku jawab jujur, bapakku marah-marah 24 jam padaku, aku dengarkan. Dua hal itu aja, itu udah merubah mindsetku jadi sangat lebih baik dan bijak daripada aku diam-diam musuhan sama ortuku sendiri. Pedulilah pada orang yang benar-benar peduli padamu dengan cara memberikan a sense of security (rasa aman), minimal dengan berbicara jujur, sopan dan komunikatif.

Kedua, menanggapi orang yang gak peduli kalau kamu hidup. Aku ingin menekankan bahwa kamu harus bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang lain. Aku perlu menekankan ini karena ada yang masih salah paham dengan konsep “tidak peduli”. Sebagai sesama manusia, wajib bagi kita untuk tolong-menolong satu sama lain. Aku pun demikian, kita harus peduli apabila ada orang minta tolong. Memang ada resiko apabila kita mengulur tangan terlalu banyak, namun adalah hak kita untuk memilih dan memprioritaskan orang dengan orang lain. Namun terlebih dari itu semua, kamu punya hak untuk memprioritaskan dirimu sendiri sebelum orang lain. Maka dari itu, apabila sobat karib pun dapat tidak bisa membantumu, bukan berarti ia tak peduli, ada hal lain yang lebih penting dan kamu harus menghargainya. Hargai orang lain dengan cara membuat dirimu sendiri mampu menangani masalah pribadi hari demi hari.

Ketiga, anggap dirimu sendiri adalah protagonis, karakter utama dalam ceritamu. Gak ada yang bisa tau masa depan dan hanya kamu sendiri yang peduli jalan cerita seperti apa yang bakal kamu hidupkan. Sebagai nahkoda dalam hidupmu, agar kamu tidak menyesal nantinya, kamu perlu panutan, dimulai dari orang-orang yang benar-benar peduli padamu. Jika kamu orang religius, teladani sikap yang bisa ditiru dari Baginda Nabi. Jika kamu masih kehabisan panutan, pelajari orang-orang hebat dahulu dan sekarang, entah itu Mahatma Gandi atau Bill Gates. Tentu ambil yang baik dan sekiranya bagus untuk ditiru. Kalau aku sendiri, aku rajin pelajari banyak tokoh lalu melihat pola karakter yang paling sering muncul dan analisa dalam-dalam. Dengan demikian, aku tahu sisi positif dan negatifnya, dan tahu apakah relevan dan baik jika aku tiru, dsb.


Semua hal ini aku utarakan, intinya adalah kamu yang menjalani hidupmu, jadi fokuslah pada hal-hal yang bisa kamu kontrol, yang bisa kamu putuskan sendiri.

Dan Iya, itu termasuk apakah kamu punya cita-cita paling jauh atau bukan. Orang yang gak punya cita-cita, itu sah sah saja, mungkin hidup aman sejahtera adalah tujuan utamanya, struggle segitu aja sehingga mereka gak ngeluh banyak dan sering bersyukur, siapa yang menyalahkan prinsip itu?

Background storyku dari kecil memang tentang ambisi dan ambisi, jadi sudah terbiasa. Memang, dulu aku sering merasa aneh, kok bisa ya orang-orang itu santuy, gak punya ambisi? Merasa aneh selama 10 tahun lebih, aku jadi paham enak dan gak enaknya. Dan aku sadar itu adalah hak hidup orang masing-masing. Wassalam.