Bingung mau ngapain?

Durasi membaca: 5 menit

Seorang teman bertanya kepadaku, “apakah ada hal lain yang bisa kukerjakan?”

Hal ini mengingatkanku pada masa itu… disaat satu project saja tidak cukup, selalu ingin lebih dan lebih, hingga pernah 4-5 project software aku kerjakan bersamaan. Mungkin saat itu alasannya karena aku mudah bosan dengan hal yang monoton, atau percaya bahwa “waktu itu emas!”. Namun dipikir kembali… Niat asli dari semua itu sebenarnya cuma satu…

Aku menutupi diri dari rasa takut… Takut akan waktu yang hilang… Takut tidak ada hal lain yang lebih baik untuk dikerjakan.

Ketakutan semacam ini jika menurut orang rata-rata adalah overthinking dan konotasinya biasanya negatif. Karena, buat apa mengkhawatirkan masa depan yang sangat jauh itu, daripada menghadapi masalah sekarang?

Mengkhawatirkan masa depan

Secara teologi, kita tidak disarankan untuk khawatir tentang masa depan. “Meragukan masa depan sama dengan meragukan ketetapan Tuhan“, maka dengan demikian sebagian orang percaya, rezeki itu sudah ada yang menjamin, kita tinggal menunggu tanggal turunnya.

Sebenarnya, kepercayaan seperti itu seperti pisau berbilah dua. Ibarat menjaring ikan ditengah laut, rejeki itu “berkeliaran” antar ruang dan waktu, tinggal kapan kita bisa “menjaringnya”. “Jaring” itu bisa kita umpamakan sebagai usaha. Artinya, apabila usaha kita semakin baik, maka kita dapat “menjaring” rezeki semakin banyak.

Itulah mengapa, ada perlunya kita mengkhawatirkan masa depan. Kalau kita sempatkan berpikir masa depan, kemungkinan untuk berhasil pasti lebih tinggi daripada yang baru mempersiapkan. Menurutku itu kunci untuk menang di dunia yang serba kompetitif.

Ada dua hal yang bisa aku tarik dari diriku sebagai contoh pelajaran pada masa kuliah dulu: Beasiswa lanjutan dan lowongan kerja.

Beasiswa lanjutan Bidikmisi aku peroleh pada semester 3. Sebenarnya, aku tidak punya pikiran akan bisa ambil itu, tidak punya relasi politik di kampus dan tidak miskin. Tapi, hal seperti itu terjadi karena banyak hal: Aku dikenal sangat baik oleh satu angkatan di kampus, IPK-ku memenuhi syarat, dan kebetulan aku responsif untuk mengangkat telepon dari teman saat kesempatan itu ada.

Kedua, lowongan kerja sebelum kuliah pada semester 7. Sekali lagi, aku tidak punya pikiran akan bisa ambil itu, itu muncul dari teman kampus, dan seharusnya temanku itu peluang kesempatannya tinggi. Karena saat itu aku kenal sama temannya temenku yang menawarkan lowongan itu, dari project besar yang aku ambol, serta aku siap dari hal pengalaman hasil dari banyak project software, aku dapat posisi karir, yang kebetulan juga itu adalah startup yang diakuisisi oleh unicorn terkenal di satu negara.

Sekarang begini… Andaikata dari semester 1 aku meremehkan kuliah, aku ikut trend seperti banyak anak kuliah yang “kupu-kupu”, sehari-hari hanya chill, ngopi dan mabar. Mungkin, saat ini aku sudah “broken home“, putus kuliah, kerja serabutan, hutang dimana-mana, bingung untuk meluruskan timeline kehidupan kembali sejalan se-“ideal” sekarang. Nauzubillah.

Jadi, jangan mengira mengkhawatirkan masa depan itu buruk. Ketika kita memberanikan diri untuk mengambil aksi dari pemikiran itu, namanya adalah mempersiapkan masa depan.

Mempersiapkan masa depan

Ada banyak quotes yang diposting teman-teman separantanku disosial media. Yang paling populer adalah “Berhenti membandingkan dirimu sendiri“. Quotes ini aku akui relevan, karena di tahapan quarter-life crisis ini kita pertama kalinya mengetahui jalan hidup kita berbeda-beda, tidak seperti dulu yang masih sama-sama masuk SMP, SMA, S1… Sekarang melihat teman yang sudah punya anak, sudah menikah, sudah kerja, sudah lulus dibandingkan dia yang… baru nyicil skripsi!

Kutipan tersebut sebenarnya sebuah ajakan untuk tidak menyalahkan masa lalu. Karena masa lalu tidak bisa diubah. Dia yang terlanjur terlena, cepat atau lambat akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ideal itu butuh persiapan panjang. Dan persiapan itu bisa sampai bertahun-tahun lamanya!

Dilema kebanyakan fresh graduate adalah kurangnya pengalaman yang relevan dengan karir yang dituju ketika telah lulus, kaget ketika banyak lowongan membutuhkan pengalaman kerja… Padahal dia sendiri belum pernah bekerja! Harus mengikuti serentetan kursus dan bootcamp, kemudian magang dan sertifikasi dimana-mana sebelum bisa duduk terpanggil untuk wawancara dengan HRD.

Ada salah satu teman yang berada diposisi itu dan meminta advice-ku. Aku tanya konteksnya? “Tidak punya waktu”, “Mau kerja apapun (selaras dengan IT)”, “Ngantor dimanapun oke”. Aku sarankan dia untuk melamar kerja apapun jenisnya yang mempunyai skill requirement yang rendah, seperti Tech Support/Quality Assurance/dsb. Kemudian sambil itu berjalan, belajar software/coding dengan benar jika sewaktu-waktu mulai boring bisa belok menjadi Software Engineer ketika waktunya tepat.

Ada pula teman mulai memikirkan S2 ketika dia sendiri masih semester 4. Aku jawab, “Kemungkinan untuk S2 diluar negeri akan menjadi lebih besar ketika ikut pertukaran pelajar (IISMA)”, kemudian didepan matanya seperti terbayang sederetan kursus bahasa inggris, TOEFL, kampus merdeka, dan banyak lain semacamnya.

Aku bukan peramal, tapi setidaknya punya usaha demi pandangan jauh itu lebih baik daripada stuck, karena dunia kerja sekarang memang menuntut untuk menjadi kompetitif: “Menjadi ideal” atau siap terdepak. Kalau mereka bikin lapangan baru? Ah itumah mereka juga pengen, tapi bertaruh dengan pemasukan labil bertahun2 apa juga mereka berani 🤣

Menjadi ideal

Mindset yang perlu diterapkan itu begini: Pikirkan apa yang perlu dilakukan, short term dan long term. Long term: Apa sepak terjangmu berikutnya? Buka usaha? Kerja di unicorn? Singgah di luar negeri?

Jika sudah dikunci, ingat-ingat ini dikepala: Hal yang ideal butuh usaha bertahun-tahun. Jadi, pikirkan segera rencana short term-nya juga: Apa yang bisa dilakukan hari ini hingga bulan depan?

Kalau ingin buka usaha kedai kopi, mulai belajar dengan melamar jadi barista. Kalau ingin buka agensi, belajar ambil project kecil-kecil, dst. Semua hal besar itu ibarat berada di ujung tangga, kita harus naik langkah demi langkah, karena semua ada urutannya, tidak baik untuk melangkah terburu-buru.


Sekarang, aku punya pop quiz untukmu: Apa sepak terjangku berikutnya? Konteks: “Fresh grad”, “Sudah kerja”, “Kehidupan stabil”, “Single/jomblo”.

Anda pasti menjawab: “Nikah aja” 🤣 Ingat ya kawan, aku suka mematahkan status-quo. Benar, itu adalah cita-cita banyak orang yang sudah cukup stabil kehidupannya, namun aku lebih suka mempersiapkan 4-5 long term goal lain bersamaan: Studi lanjut yang tinggi, membangun startup, merintis franchise, merancang pelatihan, dst… Banyak hal direncanakan secara bersamaan agar aku bisa santai naik tangganya.

Karena seperti yang aku bilang tadi, kita sebagai manusia tidak ada yang tahu masa depan, maka tebar jaring yang luas agar hasil mancing rezekinya maksimal. Dan… Siapa bilang kita harus mancing di satu danau? Manusia bisa sukses berkarir dalam banyak hal sekaligus, kenapa harus menggantungkan nasib pada satu tebakan jalan karir saja? Itu adalah jalan ninjaku setelah mempelajari kalau aku sendiri bisa ambil 4-5 project sekaligus, lagian apa lagi yang bisa lebih baik aku lakukan? 🙃