Kok Manusia Bisa Bosan Ya?

Durasi membaca: 4 menit

Habis keluar dari kurungan jam kerja…. jam 8 pagi s/d jam 5 sore, harusnya aku antusias untuk melanjutkan agenda-agenda pribadiku. Minggu ini, moodku berbeda, seperti bosan. Kuceritakan kenapa.

Minggu ini aku mengikuti anjuran dari YouTube karena minggu lalu aku sadar, kebanyakan buka sosmed. Aku pakai Digital Wellbeing untuk membatasi HP maks 15 menit per aplikasi, dan Cold Turkey untuk membatasi sosmed di laptop selama jam produktif. Dikombinasikan dengan membeli meja lipat di kosan biar irit ngopi, makin mager untuk mau kemana-mana. Lengkap sudah pemanjaan hidup ini.

Secara sadar aku tidak ingin terhipnotis kedalam hiburan digital yang habiskan banyak waktu, seperti aktif di sosmed, maraton anime atau install game, meski wifi kosanku kenceng abis. Tapi dibalik itu, waktunya terlalu minim untuk masuk ke aktivitas yang produktif, seperti ngoding project sampingan, karena biasanya sekali ngerjakan aku gak akan bisa setop sampai subuh, hehe.

Ketika Overstimulasi Turun

Ngeblok sosmed membuatku merasakan kebosenan yang asli. Minggu lalu, kalau sudah selesai semua kerjaan, gaada jeda 30 detik pasti refleks untuk buka Twitter. Kalau udah di block gimana? Ya bingung dong wkwk. Apalagi tidak ada deadline dan tekanan finansial, kehidupan sudah stabil mau berbuat apa lagi wkwkwkwkw.

Sehari dua hari dipaksa demikian, aku merasa seperti seakan dunia berjalan terasa lambat. Yang dulu rajin cari konten untuk diposting ulang distory, sekarang kayak “ah, buat apa.”. Jadinya aku mulai memperhatikan hal-hal kecil, mulai sering merapikan kamar, merapikan gantungan pakaian, bahkan sampai merapikan file-file laptop. Kadang buku berdebu yang ada diatas lemari mulai aku perhatikan, meski abis baca 5-10 lembar kemudian bosen lagi wkwkw.

Lambat laun aku merasa seperti orang penganut nihilisme, semua hal kecil yang kulakukan seperti “ah, buat apa”. Sampai kemudian beberapa jam berjalan pikiranku seolah-olah menjadi sufi, ingin mendeskripsikan kembali tujuan dan makna hidup.

Menjadi “Sok” Sufi (Suhu Filsafat) Sejenak

Aku tahu tujuan hidup seharusnya jangan dipertanyakan, dipikir sampai kiamat pun tidak ada yang tahu jawaban yang pasti. Banyak orang percaya secara saklek (aka. dengan “tutup mata”), hidup itu tujuannya adalah untuk ibadah. Ya, aku juga percaya dong, tak mau debat masalah itu. Masalah utamanya ialah, apakah aku sebaiknya beribadah seperti orang sufi saja, magrib sampai isyak ber’itikad di masjid dilanjutkan dengan dzikir sampai ketiduran lalu bangun i’tikaf lagi sampai fajar menyinsing? Karena “tidak ada” hal lebih baik lain untuk dikerjakan?

Dipikir mungkin masuk akal untuk menjadi demikian, tapi dilogika kok kayak aku mempercepat penuaan diri… Banyak-banyak ibadah mengalahkan durasinya 99,9% populasi Islam kayak sadar usia tinggal dikit? Gak berlebihan tuh? Kan gak boleh berlebihan juga katanya.

Konsep yang menurutku paling masuk akal itu dijelaskan sama Kurzgesagt, Optimistic Nihilism. Yang penjelasannya aku kutip dari sini:

Interpretasi nihilisme (menurut video ini) bisa dipandang dari kacamata optimistik dimana kita sebaiknya melakukan apapun yang kita inginkan semaksimal mungkin, sebaik mungkin, dan sebanyak mungkin karena hidup cuma sekali (dan nihil pada akhirnya). Kita bebas menjadi apapun karena tidak ada batas, standar, dan figur yang menghalangi kita. Karena dengan melakukan hal-hal inilah, kehidupan yang sejatinya (menurut nihilis ya hehe) tidak ada maknanya ini akan memiliki makna dan manfaat untuk kita dan hopefully untuk siapapun serta apapun di sekitar kita.

Pada dasarnya penjelasan ini kembali ke artikelku terakhir, apa lagi yang bisa lebih baik aku lakukan? wkwkw.

Hikmahnya Merasa Bosan

Menurutku, pada dasarnya manusia itu benci untuk merasa bosan. Biasanya, kalau visioner seperti kebanyakan anak muda, bakal mencoba untuk menambah drama kehidupan. Ada kalanya orang terlalu lama merasa bosan bahkan bisa berani mengobrak abrik kehidupan yang awalnya damai jadi penuh drama (aku sering sih wkw).

Bosan di dunia modern ini bisa jadi reminder kecil agar kita “zoom-out” sejenak untuk terus intropeksi atau improvisasi diri, karena orang lain disekitarmu bisa jadi sudah stabil kehidupannya tapi masih mau mengejar impian, atau mungkin lihat orang yang nasibnya kurang beruntung dari kita tapi kegigihannya untuk menyambung hidup itu sangat tinggi.

Akupun merasa prihatin dengan banyaknya pilihan entertainment digital aka. “cheap dopamine“. Banyak anak muda sekarang gak bisa “berevolusi” dari diri mereka sendiri karena sangat gampang sekali menghilangkan bosan dengan scroll sosmed bahkan sampai berjam-jam.

Sebagai contoh, saat aku umur 10 an adalah aku anak yang cepat bosan, pelajaran yang aku suka (Matematika) bisa dipastikan sudah khatam. Karena internet masih sulit, aku menemukan keasikan dalam ngoding dari aplikasi komputer yang ada. Sekarang kalau mengarahkan hal yang sama pada adikku itu sudah pasti impossible. Ya, benar mereka semua punya gadget, tapi yang dibuka kalo gak TikTok ya drakor semua wkwkwkkw.

Emang aku bisa Bosan?

Menulis artikel ini ditengah malam itu sudah dipastikan sih. Karena aku dulu pun pernah blok akses sosmed, efeknya pasti bosen seperti ini. Lambat laun apabila semakin konsisten, aku berusaha untuk bisa menata fokus dan rutinitas se-efisien mungkin. Aku berusaha mengatasi bosan dengan list tasks/TODO yang ingin aku basmi, dan pasti banyak biar gak kerasa monoton.

Gen X dan Boomer pasti tertawa membaca artikelku ini, mana ada kehidupan orang bisa sesantai ini, setiap orang pasti ada masalah masa depan yang ditutup tutupi sebelum tanggal deadlinenya 😂

Gen X reminded me that I should enjoy my solo life as maximum as possible 😂