Kamis sore sepulang dari kantor, beli makanan bungkus untuk persiapan sebelum kuliah jam setengah 7. Tau tau setelah makanan jadi, ada adzan magrib. Biasanya karena capek aku langsung ke kos aja tapi mumpung sejalan udahlah belok sholat bentar.
Aku siap-siap bakal langsung cabut, tapi baru ingat pas imamnya mulai baca tahlil, oh ini malam jum’at. Sejenaklah aku duduk di masjid sampai selesai, membiarkan aku dalam kebosanan sejenak sambil mengikuti bacaan imam. Kebosanan ini yang membuatku berpikir sejak tentang rutinitas hidup.
Aku sadar, dengan kuliah sambil kerja, praktis jam kosong itu hilang. Aku kira mindset itu saja sudah cukup. Tapi melihat teman-teman kuliah yang aktif banget kuliahnya, pertama kalinya aku merasa insecure…. “Ini orang-orang gak punya kehidupan lain apa?” Tapi aku sadar mereka rata-rata sudah kerja dan aku yakin sudah menikah; bisa dikatakan ada gap dalam kedewasaan… 5 tahun lebih tua dari aku yang habis S1 langsung nyelonong nekat masuk S2 wkwkw.
Tapi namanya orang dengan mindset umur 27 tahun keatas dan sudah menikah, pasti sudah melewati krisis yang anak umur 23 rentan hadapi: Kekhawatiran diri untuk stay relevan, alias FOMO. Aku akui aku juga FOMO dalam beberapa hal: Aku selalu merasa kurang dalam interaksi sosial, aku yang selalu scroll sosmed demi posting 4x sehari di story WhatsApp, aku yang selalu merasa selalu mepet deadline tugas presentasi tapi merasa takut gak bagus, aku yang takut jadi jomblo tua sampai melahap banyak teori yang kukumpulkan melalui tulisan artikel yang berbulan bulan gak selesai, bahkan sambil nungguin abang bakmi membungkus makanan tadi, masih gelisah pengen buka notifikasi & scroll sosmed wkwkwk.
Aku mengakui, ini bukan pertama kali aku nulis tentang produktivitas. Aku tau konsepnya dari akar sampai daun, tapi susah sekali diterapkan. Mungkin benar, akarnya cuma satu: FOMO. Takut dengan segala tekanan dari luar setiap waktu merupakan resep efektif untuk membunuh produktivitas. Harusnya, mengosumsi sosmed itu seperti bapak-bapak baca koran di pagi hari: Satu kali sehari aja cukup! pointless membuka itu setiap jam sekali; aku tahu itu yet masih sering kulakukan.
Aku yakin aku yang beragama Islam dianjurkan untuk sholat 5 waktu sehari dengan tepat waktu itu ada alasannya. Kalau aku ngaret, artinya ada pikiran berat yang aku takut aku akan lupa itu. Emang kehidupan harus seserius itu kah? Yet, aku melakukan banyak hal itu tidak efisien sekali. Kerja aja sering sambil buka sosmed; Kuliah aja sambil buka ini itu, bahkan respon chat WA juga cepet; Malam alasannya capek tapi tidur masih ngaret sampai telat subuh.
Otak manusia itu, kalau benar-benar fokus, dia sangat cepat menyelesaikan banyak hal. Artikel ini saja sudah sejauh ini, gak sampai setengah jam aku nulisnya; karena aku gak buang-buang waktu dengan membaca draft sebelumnya, takut ada imperfection. Bahkan aku menulis ini sambil menghayati alunan musik Tame Impala yang sangat menghipnotis. Aku juga notice minggu kemarin aku menyelesaikan sebuah presentasi; lengkap dengan sampel kodingannya, praktis dalam tiga jam, TIGA JAM SEBELUM DEADLINE; submit 15 menit sebelum deadline.
Aku ingat diriku setahun yang lalu. Skripsi yang menuntut progress dilaporkan seminggu sekali, pekerjaan yang menuntut progress setiap hari, project sampingan yang menuntut hard deadline dalam waktu dekat; semuanya dilakukan bersamaan. Ketika FOMO ku berkata, “gak mungkin ini akan beres semuanya”, seketika itu pula aku kena panic attack. Panic attack ini parah banget bikin aku pengen berhenti sehari aja, tapi gak bisa; harus diempet, karena aku bersikukuh semua harus tetap berjalan seperti tak ada drama. Parah banget pokoknya, sampai aku merasakan “Seperti orang pincang masih dipaksa lari”.
Jadi itulah komponen yang benar-benar ingin aku buang dariku. Aku percaya dengan Gus Dur. Gak ada jabatan yang patut dipertahankan mati-matian. Dengan kata lain, udahlah duniawi biarkan semuanya mengalir. Buang-buang jauh hal yang gak penting, yang bikin aku tidak fokus. Biarkan akun sosmed-ku garing tidak berbunyi, biarkan konten viral itu lewat dari radarku, biarkan chat itu tenggelam beberapa jam.
Selain itu, Pareto principle harus aku ingat betul-betul. Benar, ada hal-hal penting yang harus aku selesaikan dengan rapi agar tak menimbulkan drama baru. Tapi semua hal yang begitu rapi dan sempurna itu namanya micro-managing, buruk untuk kesehatan. Satu hari hanya ada 12 jam yang produktif, tidak cukup untuk berjam-jam perfecting my own art. Pasti ada ini-itu yang imperfect: okelah tidak apa-apa, toh itu aku yang tahu, belum tentu orang yang menilaiku menyadari itu.
Selama aku tidak bisa hal hal yang penting dengan benar, itulah yang gak bisa aku maafkan dari diriku sendiri. Sifat FOMO dan perfeksionis ini harus dibuang jauh-jauh.
Beberapa menit kemudian aku beranjak ke kosan seketika tahlilan itu selesai. Sekian uneg-uneg malam ini untuk diingat dikemudian hari.