Puncak Karir yang kuinginkan

Durasi membaca: 4 menit

Yang jelas bapakku sudah menceramahin saya bolak balik. Jadi Dosen. Gaada profesi yang lebih aman dari itu.

Tapi dipikir-pikir. Gimana sih prosesnya jadi dosen? S1 lalu S2. Dan udah. Kalau aku emang target jadi dosen, aku gaperlu belajar serius. Karena yang dibutuhkan cuma sertifikat. Yah meski gajinya “aman” dan banyak santuynya, menurutku kurang greget, dan eman sama potensi diri. Lagipula dari dulu aku udah membulatkan tekad, jadi serigala, bukan domba.

Dulu pernah berpikiran untuk terjun sedunia gaming saat dulu main Unity, namun motivasiku kurang realistis, apalagi dua tahun gua habis gara-gara mikirin gimana caranya bikin produk yang mirip suksesnya seperti TEXDraw. Masuk kuliah aku murtad dari game developer ke web developer. Lagipula market game di indonesia juga kecil harapannya.

Lalu sesuai tujuanku dulu saat kuliah, mencari relasi. Kau tau apa tujuan utamanya? Wirausaha. Nerima Job Website. Asli. Karena aku sadar, freelancer tanpa nama itu gak ada bedanya seperti pengamen jalanan. Aku awalnya mengira bakal kerja IT itu pas udah lulus. Ternyata semester 2 aja udah nerima kerjaan. Apalagi pandemi sekarang banyak waktu longgarnya.

Karena maniak freelance, dulu aku pernah bikin perkumpulan yang namanya Trudigi. Dimana banyak nanti belajar kerja sambil kuliah, trus rencanaku ntar bisa jadi software house. Tapi yah, aku akui itu salah satu produk gagal. Maklum, karena manajemen manusia itu ribet. Lagipula semua orang bisa se visi dengan gua sendiri. Tapi dibalik itu, Trudigi berdampak secara psikologis untuk aku dan beberapa rekan terlibat. Not bad lah untuk sebuah produk gagal.

Beberapa orang bilang, DOM Cloud, income pasif-ku kedua setelah TEXDraw. harusnya digedein. Potensi bisnisnya besar. Dikata harus jadi PT, punya kantor, ngehire orang. Tapi sejatinya, DOM Cloud emang aku bikin simpel, atau nanti biaya ecerannya naik seperti hostingan lainnya. Sampai sekarang aku belum memutuskan apakah produk pasif yang sudah serba otomatis, harus sampai segede itu.

Okelah, aku emang orang yang maunya banyak. Pengen jadi dosenlah, freelancerlah, software houselah. Ganti-ganti jasa dan nambah-nambah produk buat income pasif. Tujuanku yang bener didunia ini apa sih?

Aku pernah berpikir demikian, dan jujur aja, karena jalan karir gua udah kek kliatan mulus aja, bikin gua insecure. Jadi aku putuskan, beberapa bulan lalu, untuk bikin the grand voyage. Perjalanan karir yang pasti gak bakal habis meskipun umur gua 30 tahun…

The Grand Career

Ada 2 hal yang belum berubah selama ratusan tahun didunia ini: Sistem pendidikan dan Cara kita bercocok tanam. Aku pernah berpikir pas jaman MA, sistem pendidikan kita gak ada yang bener. Tapi karena pandemi ini, sistem pendidikan kita semuanya jadi serba online. Apalagi ditambah program baru seperti kampus merdeka dan banyak akademi bersertifikat. Sepertinya cepat atau lambat sistem pendidikan kita akan lebih baik.

Tinggal satu. Sistem bercocok tanam kita masih ketinggalan zaman.

Gua pengen jadi petani. Serius. Tapi bukan petani dengan cangkul di tengah ladang terpapar sinar matahari setiap hari. Jujur aja andaikan kalau aku bikin survey, hasilnya pasti gak ada anak milenial yang mau jadi petani sawah atau tambak, meskipun orang tuanya jadi petani.

Ditambah, mau tidak mau, jumlah penduduk di Jawa akan berkembang pesat. Pemerintah bisa saja mencoba mengantisipasi ini dengan cara memindah ibukota ke Kalimantan. Tapi pasti kita yang keluarganya udah terlanjur di Jawa gak mungkin mau pindah (aku aja nggak). Jakarta, Surabaya. Dulu yang rame cuma 2 kota itu. Sekarang area sekitarnya, Bogor, Bandung, Malang, DIY, Semarang. Rame semua. Di masa depan mungkin udah banyak sawah jadi rumah, dan sisa lahan kosong jadi sawah. Apakah masih cukup lahan?

Aku gak ingin mengkritik siapapun. Maksudku, lihatlah Singapura. Lahan sekecil itu tapi sangat futuristik. Patut menjadi panutan untuk sebuah smart city. Aku ingin Jawa seperti Singapura.

Tapi yang jelas, itu khayalan yang tidak mungkin. Paling tidak, itulah mengapa aku ingin banting stir ke profesi “petani”, tapi bukan petani biasanya. Aku ingin menjadi petani yang serba otomatis. Caranya? Teknologi. Dan kunci dari teknologi ini, seperti Machine Learning, Embedded System dan IoT. Sekali lagi, aku sebenarnya benci kalau harus belajar semuanya dari nol secara otodidak tapi kalau bukan aku, siapa lagi?

Aku tahu, bikin penemuan gila seperti ini budgetnya gak kecil. (Dulu gua pernah bodoh tergesa-gesa utk mengintip pengen nyoba bisnis lele, untung gak jadi). Jadi aku harus pelan dan sesuai prosedur. Kemungkinan, paling tidak skripsi, tesis, penelitianku gak bakal jauh dari ini. Dan kemungkinan juga, bakal menemukan beberapa produk income pasif yang lain duluan sebelum ketemu alat yang bikin bercocok tanam serba otomatis.

Pembaca disini boleh berkata, ini hal yang tak mungkin, atau gak masuk akal. Tapi ini sudah aku pikir matang sejak beberapa bulan yang lalu, kemungkinan bisa bikin aku jomblo sampai kepala empat. Tapi sekali aku berhasil, harga penemuannya pasti gak bisa ditakar dengan kegunaannya untuk umat di negeri ini.


But yeah, kalaupun aku nanti gagal, aku masih bisa jadi dosen, freelancer, atau bikin software house, robot, jadi entrepeneur, dsb.

1 Komentar

  1. Zidni menulis:

    Semangat bang, suka banget dengan sharing-sharing nya. Semoga terus memotivasi dan bermanfaat

Komentar ditutup.