Sebagai orang yang hobi bergelut di ranah IT, mungkin terdengar aneh, ngapain aku mau belajar Bahasa Arab? Mau expat atau bekerja disana juga nggak, studi apalagi. Sedangkan, menguasai bahasa baru butuh waktu bertahun-tahun, dan itu adalah komitmen seumur hidup, kalau gak ingin hilang begitu saja.
Sebenarnya aku punya dua alasan utama. Hanya satu yang bisa aku reveal saat ini, tapi mungkin satu ini saja, dapat membuat pikiranmu terbuka…
Backstory
Bulan ini adalah Bulan Ramadhan. 2 bulan yang lalu, sebenarnya aku ingin ada program khatam Al-Qur’an 3 bulan, biar saat akhir Ramadhan seperti ini, bisa khatam. 90 hari menghabiskan 600 halaman, sekitar 7 halaman per hari perlu dibaca rutin. “Harusnya mudah”, kataku.
Konsisten itu sulit, terlebih kalau punya asalan yang asal-asalan.
Dua alasan kenapa aku ingin rutin membaca Al-Qur’an lagi — Media untuk menenangkan pikiran dan mengatur kembali rutinitas. Kenapa tidak menggunakan hobi lain…. mungkin karena kebiasaan saat di pondok dulu, saat tidak diperbolehkan mengakses informasi dunia luar dan stuck di masjid berjam-jam — Membaca terjemahan Al-Qur’an jadi satu-satunya hobi yang realistis.
Namun membaca terjemahan itu beda dengan membaca naskah aslinya dalam bahasa Arab. Membaca Al-Qur’an (dalam naskah aslinya) merupakan sebuah seni tersendiri, bahkan ada orang yang mendedikasi seumur hidupnya untuk hanya itu saja. Bagaimana bisa seseorang dapat mencapai level seperti itu diluar nalarku… Tapi itu bukan aku. Aku hanya sebatas ingin itu menjadi bagian dari hobi saja.
Memang membaca Al-Qur’an merupakan music to my ears. Maka dari itu, juga setelah mengurangi kesibukan duniawi dari skripsi, aku ingin mengisi kekosongan jam malam dengan itu.
Beberapa minggu berjalan, aku menyadari suatu hal yang janggal, suatu teori yang menggangguku….
Membaca atau Memahami?
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ
Ayat Al-Qur’an yang pertama turun ke-bumi, perintahnya adalah membaca. Sedangkan sebelum ayat itu turun, Al-Qur’an belum ada. Aku kutip konsep itu dari beliau, KH. Quraish Shihab. Menurut beliau, kunci nya terletak pada membaca dan memahami Al-Qur’an.
Memahami adalah konsep yang sulit… Aku sendiri tidak paham bahasa Al-Qur’an, atau bahkan bahasa Arab. Bahkan, kita sebagai muslim Indonesia hanya diiming-iming pahala yang besar ketika membaca Al-Qur’an. Mungkin itulah mengapa kebanyakan yang bisa tahan rutin demikian adalah anak kecil dan usia lanjut. Usia remaja sepertiku susah mencerna konsep “pahala” yang pasti gak kelihatan, dibandingkan masalah duniawi yang lebih terlihat dan menampar secara nyata.
Maka dari itu mungkin “bagian dari hobi atau kekosongan” merupakan alasan yang logis — tapi ternyata percuma juga, karena orang sepertiku suka hustling, nyaris gak punya jam kosong. Jadi, lambat laun bakal gak konsisten lagi, dan itu terjadi padaku.
Kalau aku ingin menjadikan ini terus sebagai hobi, tebak… apa lagi yang perlu aku percayai?
Usaha untuk Memahami
Maka dari itu, dari 2 bulan yang lalu, aku bertekad untuk menguasai bahasa Arab. Alasan logisnya, karena ini hal yang sama yang bisa membuatku betah berjam-jam di masjid jaman dulu kala, namun aku tak ingin terlihat awkward hanya membaca dari terjemahan saja.
Aku ingin saat membaca naskah aslinya, otomatis saat itu juga aku paham artinya.
Kenapa demikian? Karena setengah dari isi Al-Qur’an adalah do’a. Aku percaya, do’a adalah suatu hal yang penting secara psikologis, sesuatu yang bisa menjadi makanan jiwa. Kita sebagai orang muslim mendengar do’a-do’a yang sebenarnya indah untuk diungkapkan but we take it as granted, seolah-olah itu adalah hal yang biasa karena terdengar setiap hari tanpa dipikirkan makna aslinya atau apa efeknya apabila do’a-do’a tersebut akan berpengaruh dalam masalah kehidupan masing-masing.
Seberapa Sulit memahami Bahasa Arab?
Keinginan dan kepercayaan sedalam itu hanyalah angan-angan belaka jika tidak dieksekusi dengan konsisten.
Untuk tahap awal, Duolingo menurutku sangat membantu untuk memulai penguasaan bahasa baru. Setelah hampir 3 bulan berjalan, bisa dibilang aku menyelesaikan hampir 50% paket kursusnya.
Awalnya berjalan dengan cepat, namun lama-lama semakin sulit. Dapat dipastikan minimum aku menghabiskan 1 jam per hari karena sulit untuk fokus dalam jangka yang lama. Mungkin minimal 3 bulan lagi diperlukan untuk menyelesaikan seluruh course-nya.
Namun aku percaya, bahkan apabila Duolingo sudah tamat, itu masih jauh dari kata cukup. Karena Al-Qur’an mempunyai sajak literasi yang tinggi. Pemahaman dengan literasi tinggi ini adalah level dimana kita tidak perlu menerjemahkan bahasa kedalam bahasa lain agar kita paham kalimat tersebut.
Untuk mencapai level tersebut, itu adalah hal yang nyaris tidak mungkin, perlu dedikasi bertahun-tahun. Namun melihat aku sudah menguasai bahasa Inggris dengan level setinggi itu, aku percaya dengan metode yang sama aku bisa menggapainya, dan aku mempunyai alasan yang lebih kuat kenapa aku harus menggapainya.
Hikmah untuk Belajar Bahasa Ketiga?
⚠️ Bagian ini mungkin akan sulit dicerna, karena unsur opininya tinggi.
Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, menurutku itu seperti Yin dan Yang.
Aku belajar Bahasa Inggris sejak kecil, secara otodidak. Percaya atau tidak, bahasa Inggrisku yang bagus itu berasal dari ratusan film dan animasi Hollywood. Bagian dari masa kecilku menyukainya dan bahkan menjadikan itu sebagai teladan karena betapa ambisius tokoh-tokoh utama tersebut untuk mencapai tujuannya (itu juga jadi alasan mengapa aku suka film adventure). Somehow, teladan mereka termanifestasi dalam diriku berbentuk inner voice. Dan ya, inner voice-ku semuanya dalam bahasa Inggris.
Inner voice ini yang membuatku sangat kukuh untuk menggapai apa yang aku inginkan. Ia membuatku sangat beruntung dalam dunia karir saat ini. Dan bonus terbesarnya, lingkungan karirku sangat mengandalkan bahasa Inggris untuk bisa unggul diluar rata-rata, serta aku dapat mengakses beragam ilmu dan fakta dalam bahasa Inggris tanpa harus menggunakan terjemahan atau bahkan subtitle.
Apabila aku dapat menguasai bahasa Arab, sebagai bagian dari muslim, aku bisa membayangkan itu dapat meningkatkan self-esteem pada diriku. Dengan kata lain, membuatku bersyukur setiap waktu. Karena setiap kali orang muslim berdo’a, gak bisa afdhol tanpa pakai bahasa Arab. Selain itu, bonus terbesarnya, aku bisa mengatasi dilema paling besar sebagai orang muslim: Gak bisa hafal do’a-do’a yang berkaitan dengan ibadah sehari-hari. Lebih baik lagi, aku bisa memvariasi do’a-do’a tersebut sesuai situasi kreativitasku sendiri.
Dan kembali lagi ke pertanyaan utama, apabila aku dapat menguasai bahasa ini, kalau bisa sebelum umur 30, maka secara otomatis aku menciptakan habit atau kebiasaan yang mempunyai feedback loop. Karena tidak mungkin aku ingin kehilangan kemampuan magical ini, pastinya setiap hari dilestarikan dengan membaca Al-Qur’an, bonus lagi dapat membaca kembali literasi Arab yang pasti udah aku lupakan selama di pondok dulu segampang membaca buku.
Semua manfaat itu, selain untuk menambah pesangon akhirat, semoga saja juga bisa bermanfaat untuk teladan generasi masa depanku, sebuah generasi langka yang mampu memadukan ambisiusme dalam mencari duniawi dengan etika Islam yang sangat indah nan down-to-earth, tidak akan melupakan bumi asalnya. Hah, aku terlalu berangan-angan disini! PR-ku terlalu banyak.
Apakah ini worth it buatmu?
Generally, tidak. Gak semua orang butuh atau bahkan tahan dengan komitmen gila.
Dengan semua konsep dan teori ini, membuat pikiranku kadang berubah menjadi hal negatif — Contohnya, saat ini aku kurang membaca Al-Qur’an saat bulan Romadhon ini… Karena aku bersikeras untuk menguasai bahasa Arab sampai ke level tertentu sebelum kembali rutin membaca Al-Qur’an. Dengan kata lain, tekad ini sangat susah untuk diputar balik…. Kau taulah aku, sekali kunci diputar, it’s harder to turn it back.
Ibarat kata… ada banyak jalan untuk menuju ke Roma. Tapi mengapa anda butuh ke Roma? Itu adalah pertanyaan yang terlalu rumit untuk dijawab. Nggak ada yang peduli tentang komitmenmu atau ideologimu, jadi hanya kamu sendiri yang dapat menentukan bagaimana kamu mengisi kegabutanmu, mau berfaedah atau nggak, mau menantang atau nggak, itu terserah kamu.
Yang jelas, umur 20-an bukan umur yang pantas untuk berleha-leha. Itu bahasan menarik buat topik lain sih….. Semoga bermanfaat.