Seberapa Ambisius untuk Berambisi dengan Benar?

Durasi membaca: 6 menit

Meskipun banyak hal yang telah kukerjakan di bulan Maret ini dan menambah jam terbang didepan layar meski sambil terbang sana sini… aku masih tidak sempatkan diri untuk satu target yang paling penting.

Artikel ini dimaksud untuk menjadi pengingat tentang bulan ini, saat artikel ini ditulis. Intinya, aku sedang mengkritik diriku sendiri.

Jam terbang rata-rata diatas 12 jam

Dua bulan setelah lulus dan lepas dari tanggungan kampus, hari-hariku masih tidak berubah. Jam terbangku masih tinggi diatas 12 jam. Selain pekerjaan tetap, aku juga punya pekerjaan sampingan. Seharusnya pekerjaan sampingan ini tidak menyita waktu banyak, namun kebutuhan berkata lain. DOM Cloud, salah satu kerjaan sampingan yang paling besar di bulan ini, sedang punya banyak improvisasi karena aktivitas feedback dengan pengguna juga naik. Selain itu banyak project sampingan lain yang muncul dan perlu aku habisi tuntas.

Nggak cuma itu, pressure kuat juga hadir di pekerjaan tetapku. Dimulai dari drama wajib ngantor hingga monitoring dan bug hunting sana sini, sebenarnya aku gak enak juga karena aku merasa lagi underperforming tidak seperti biasanya dan banyak task backlog yang gak ke garap2. Tapi ini bukan karena aku tidak kompeten, ada masalah lain…

Multitasking

Red flag atau isu yang paling besar dalam bulan ini adalah seberapa sering aku switching context, pindah dari kerjaan satu ke kerjaan lain pada hari yang sama. Yang aku amati, sekali setelah fokus kemudian pindah kerjaan atau task, jedanya berkisar antara 1 sampai 3 jam. Selama itu pun mungkin antara aku bengong, scrolling sosmed atau bahkan buka YouTube.

Biasanya aku bakal mengira-ngira. Semakin lama pengerjaan suatu task, makin malas aku kerjakan. Karena aku tahu, perlu banyak jam kosong buat ngerjain itu. Harusnya aku rubah mindset itu, karena aku tersadar task yang paling penting biasanya adalah yang pengerjaannya paling lama.

Realitanya, aku masih moody-an. Aku lebih suka balas chat daripada fokus pada yang aku kerjakan sekarang. Well, aku juga manusia. Tapi menjadi moody-an menurunkan performaku. Banyak hal yang perlu aku kerjakan, tapi malam-malam aku malah maraton anime. Wkw astaga.

Progress

Progress dalam hal ini artinya melakukan hal-hal baru yang membuatku berkembang.

Awalnya aku berharap banyak baru hal yang bisa aku kerjakan. Realita berkata lain. Jam kerja ya jam kerja, sehingga waktu kosongku hanya berada diluar itu. Sayangnya aku panikan, karena ada kewajiban untuk ngantor habis puasa ini, weekend pasti habis untuk dijalan, travel kemana kek mumpung masih bisa travel… Hal seperti ini sudah terjadi dari bulan kemarin…. Sejak pengumuman RTO (wajib ngantor) pas lagi healing ke Pamekasan bulan kemarin. Dan sepertinya weekend ku untuk bulan-bulan selanjutnya bakal demikian, sering PP weekend Jombang-Surabaya, itu pun kalau kantornya masih fix disitu wkw.

Hal ini menyisakan waktu malam. Tapi 3 jam malam itu bisa buat apa? Apalagi itu sisa-sisa waktu dimana otak udah mau aus untuk dipakai berpikir lagi. Tapi kapan lagi kan? Sehingga karena itu, akhir-akhir ini sering begadang, kadang sampai subuh. Lagi-lagi bukan hal yang perlu kukerjakan karena limitasi kapasitas otak (dan mood tidak sinkron).

Progress untuk improvisasi diri bisa dibilang minim. Ideally, 40 jam waktu kerja juga imbang 40 jam waktu luang. Namun waktu luang ini kebanyakan habis untuk hustling dan entertainment. Sisa waktu sedikit untuk improvisasi… Dan improvisasi diri yang kukerjakan sofar… Duolingo saja, wkw. Aku sempat bawa buku tapi gak sempat kubaca.

Zona Nyaman

Sejauh ini konotasi artikel ini negatif… Banyak mengeluh. Tapi dibalik itu, aku tidak melupakan keberuntungan posisiku sekarang. Ekonomi, lingkungan dan mental yang stabil itu adalah fenomena yang baru aku sadari itu langka, apalagi sebagai golongan generasi sandwich.

Piramida kebutuhan Maslow

Pernah baca komen di netizen, seburuk-buruknya orang kerja, masih mending demikian daripada yang belum dapat kerjaan. Pernah ada teman yang bilang ke aku langsung “Kalo aku jadi lu, gua langsung nikah aja!”, yang tentu nggak bikin aku kaget, karena menurut Hierarki Kebutuhan Maslow, itu adalah hal yang emang the next thing yang aku belum aku gapai, dan emang kalo lu udah kerja di salah satu unicorn top tanah negeri, lu bakal mau ambisi karir seperti gimana lagi? Secara statistik pun, bisa dibilang hanya sekitar 2% dari lulusan Informatika bakal mengisi posisi tenaga IT.

Aku tau banyak orang-orang nikah di umurku saat ini dan aku bertekad untuk menunda itu untuk menyelesaikan satu ambisi lagi. Ambisi ini tentunya, harus jauh lebih besar dari sekedar kerja dan ngumpulkan fulus. Dengan kata lain, it’s so big i’m willing to take the risks untuk melepas dari zona nyaman ini.

If you’re my closest friend, you know what it is. Tapi mengapa harus berani seambisius itu?

Resiko Terhitung

Ada banyak faktor tentang apa dan kenapa, tapi semuanya cuma sebatas logika. Temanku bilang, logika itu selera. Karena hidup esensinya adalah pilihan. Yang menjadi masuk akal bagiku belum tentu masuk akal bagimu.

“Kamu adalah rata-rata dari lingkunganmu” adalah pepatah yang benar nan nyelekit. Sayangnya, lingkunganku terdiri dari 95% orang yang segera ingin memenuhi piramida Maslow yang ketiga setelah pertama dan kedua terpenuhi. Aku sudah mempertimbangkan sana sini, dan memang ambisi seperti ini tergolong unik dan minoritas…. Yang aku sendiri sering bertanya-tanya apakah aku masih rasional atau berhalusinasi diluar batas.

Lama-lama aku berpikir, memang Life is a gamble. Gak semua orang tau apa yang mereka inginkan. Evetually mereka bakal menang atau kalah kemudian live with that.

Gambling in life is a calculated risk. Seringkali aku harus menimbang antara dua jalur. Jalur yang seru adalah jalur yang beresiko, tentunya. Kalau resikonya terlalu tinggi, perlu dicari tahu bagaimana cara meminimalisirnya, jika kuat.

Yet, resikonya masih tinggi, karena aku adalah generasi sandwich, resiko atas keputusan bodohku gak cuma berimbas ke aku sendiri, maka dari itu selain menghitung2 resikonya, aku juga…..

Menaruh Kunci untuk Gagal

In my deepest desire, sebenarnya aku ingin menjadi orang normal saja, seperti 95% orang dilingkunganku. Namun sepertinya aku kebanyakan overthinking sambil mengosumsi propaganda dari internet yang membuat niat dan logika berani untuk menolaknya.

Aku pernah menulis tentang seni menaruh kunci ke Tuhan. Tentu kunci yang aku taruh itu bukan kunci yang mendikte apakah aku akan sukses, karena “sukses” itu suatu hal yang berada dalam jangkauanku. Yang tidak dalam jangkauanku, adalah mendikte kapan aku harus menyerah. Ambisi yang benar harus didasari dengan pengetahuan kapan untuk menyerah, agar bisa menyusun strategi ulang dengan lebih baik.

Tentu aku nggak mau ngasih tau kalian kondisi kunci itu seperti apa, tapi kunci itu bukan kondisi waktu, misal berapa tahun terus nyerah… Bukan. Bahkan sebenarnya, kunci itu bisa terputar kapan saja. Aku pernah berdo’a pada Tuhan, kalau kunci untuk kelak akan diputar, mending putar itu sekarang juga. Namun sampai sekarang masih belum, entah karena aku minta nya terlalu aneh atau Tuhan memang suka mendramatisasi keadaan. Now, i’m living in a fear dimana aku harus bergegas atau kunci itu akan terputar duluan, yang bikin aku sangat sangat broken hearted, tentunya.

Target

Target bulan ini untuk mencapai ambisi itu adalah nihil. Ini yang membuat diriku marah pada diri sendiri. Tapi ya bagaimana lagi, memang waktu itu berbilah dua. Sangat gampang menghabiskan waktu sampai miris sendiri melihat waktu terbuang sia-sia.

Untuk mengejar target bulan depan, aku harus mengontrol sifat moody-an ku satu ini. Semoga masih bisa tercapai.