“Tahun lalu berbeda jauh dengan sekarang. Dulu kita susah mencari kandidat. Sekarang lamaran membludak, tidak mudah kita screening satu-satu.”
Waktu itu aku berbincang dengan rekan kerjaku yang sudah senior.
Tentu, banyaknya perusahaan tech yang mengadakan layoff dan gulung tikar secara masif pasca pandemi karena semua orang tidak lagi terpaku di dalam rumah, akibat mereka meng-over-estimasi pendapatan mereka dan scale up besar-besaran di waktu pandemi. Sekarang, mungkin masih banyak pekerja IT terkena layoff dan lagi menunggu kesempatan dilamar kembali sesuai posisi sebelumnya.
Fakta tentang resesi 2023 yang paling buat aku garuk-garuk adalah… Karena layoff besar-besaran ini, Fresh Graduate pasti bakal kalah dari orang-orang yang sudah pengalaman yang terkena imbas layoff. Istilah ini juga disebut sebagai Tech Winter. Mirisnya lagi, 2023 adalah tahun dimana orang seumuranku (generasi 2000-an) baru lulus dari drama perkuliahan, sebagai Fresh Graduate.
Awalnya aku kira, jalan hidup yang kutempuh merupakan hal yang biasa. Namun melihat sekitar… membuka mataku lebar-lebar… Betapa beruntungnya aku, saat ini.
Beruntung
Sudah setahun lebih aku bekerja di posisi perusahaan tech yang lumayan terkenal, bisa dibilang impian bagi beberapa orang seumuranku yang menapak di jalan karir yang sama, apalagi saat itu aku belum lulus, dan bahkan sebelum adanya drama menyelesaikan skripsi sambil bekerja.
Pilihan untuk mengambil kesempatan itu sepertinya menyelamatkan hidupku yang saat ini.
Jikalau kesempatan itu tidak aku ambil, mungkin aku tidak bisa bertahan sekarang. Mungkin aku akan terpontang panting, masih memburu proyekan receh meski networking tidak berkembang lagi. Saat ini, dikarenakan tech winter, pasti aku akan kalah saing dalam memburu pekerjaan baru karena lulus sebagai fresh graduate tanpa pengalaman kerja apapun. Bisa jadi aku sudah menyerah berkarir di dunia IT dan bahkan beralih ke dunia berdagang atau bagian dari unskilled labor karena waktuku udah habis duluan kalau masih perlu eksplor sana sini tapi keamanan finansial keluarga sudah terpontang panting.
Dalam timeline kehidupanku, nasibku saat ini sudah termasuk keajaiban. Aku tidak bisa memikirkan skenario lain untuk keluar dari berbagai badai kehidupan dari beberapa tahun silam. Kalaupun aku dikasih kesempatan untuk kembali ke 5 taun silam, pasti aku akan menapak jalan kehidupan yang sama.
Diriku yang lalu mungkin akan membenciku karena dari dulu aku idealis, tidak ingin menghabiskan waktu mewujudkan mimpi orang lain atau perusahaan manapun. Namun, ketika otakku dingin seperti sekarang, aku mengaca, betapa beruntungnya aku masih selamat dan bisa menempuh karir yang aku sukai meski egois dan kesempatanku saat itu hampir diambang batas.
Tidak habis pikir. Terkadang tiap malam aku memikirkan itu dan…. menangis terharu. Harusnya aku bersyukur setiap waktu, aku merasa tingkat ibadahku masih tidak sepadan dengan keajaiban yang aku terima sekarang.
Sungguh ku merasa rasa syukur ini masih tidak cukup.
Mengadu Nasib Lagi?
Aku masih menerka-nerka, haruskah aku settle dan membuang ke-egoisanku atau memberanikan diri untuk mengacak dadu kehidupan lagi?
Sampai sekarang setiap sarafku berkata aku harus improvisasi lagi. Keputusan ini didukung oleh fakta berikut:
- Waktuku masih banyak sebelum menempuh umur 30-an, dimana umur seperti itu harusnya karir itu sudah settle atau stabil. Jika tidak, guncangan finansial/karir pada umur diatas 30-an pasti berakibat fatal untuk aku dan keluarga yang aku lindungi.
- Finansial dan skill sekarang yang memadai untuk berimprovisasi lagi, dan improvisasi ini apabila terwujud maka itu merupakan rekor baru yang dapat menjebatani akses karir untuk banyak orang dan generasi masa depan disekitarku untuk menjadi lebih baik.
- Masa depan makin tidak bisa diprediksi, yang menuntutku untuk menaikkan toleransi finansial dan mempersiapkan diri untuk berbagai kebutuhan emergensi lain yang tidak terduga.
Namun disisi lain, aku merasa jika aku menuruti rasa ambisiusku, itu seperti orang yang tidak bersyukur, merasa tidak pernah cukup meski dengan nikmat yang sekarang saja, sudah diatas rata-rata kebanyakan orang.
Ada pula pertimbangan lain yaitu manajemen resiko, apalagi terkait dengan keinginan untuk loncat karir hingga ketingkat mancanegara. Jika dipikir lagi, tidak semua orang bisa untuk naik selevel tinggi ku, dan bahkan, keluarga besar ku pun sepertinya belum ada yang mau berinisiatif untuk mendobrak keterbatasan itu.
Jika aku mendobrak keterbatasan itu, mungkin aku akan sukses besar dan dapat menjadi teladan. Atau mungkin, gagal dengan kegagalan luar biasa.
Menyambung titik-titik
Jika aku menerka lagi sifat apa yang mungkin menjadi perbedaan antara aku dan rata-rata lainnya, mungkin itu adalah yang satu ini:
Tidak menyerah untuk menyelesaikan apa yang kita mulai
Mengaca dari ratusan project code yang terbengkalai di GitHub. Sebenarnya setiap project itu mempunyai potensi yang besar, apabila dieksekusi dengan maksimal. Kebanyakan kubiarkan karena aku tidak punya waktu untuk itu, atau menyadari potensinya tidak sebesar atau se-worth-it yang awalnya aku kira.
Manusia berbeda dari project. Kita nggak bisa menelantarkan manusia begitu saja. Menyelesaikan urusan antar manusia itu lebih susah dan sulit untuk diprediksi, terkadang kita sendiri yang bakal sakit. Karena itu pula, rata-rata orang ingin menjauh dari problematika kehidupan orang lain.
Aku sepertinya agak lain, apalagi saat dibangku perkuliahan. Teman mencontek tugasku ya silahkan, kalau memang itu yang dia inginkan. Awalnya aku meladeni hal hal seperti itu karena aku tidak ingin menciptakan musuh, namun waktu berjalan…. aku mempelajari faktor lain dari manusia.
Benar memang banyak memanfaatkan manusia antar satu sama lain, ketika urusannya selesai kita akan ditinggalkan. Ada memang manusia seperti itu.
Mereka yang tetap kembali, itu yang perlu dirangkul. Meskipun mereka itu “parasit”.
Tentu ada keterbatasan berapa banyak manusia yang dapat kita rangkul, dan seberapa jauh kita dapat menyelesaikan problematika mereka. Aku punya takaranku sendiri sampai dibatas mana aku bisa merangkul seseorang, namun bisa dibilang toleransiku saat itu batasnya tinggi sekali.
Beberapa tahun kemudian, mereka berjalan pada karirnya masing-masing. Entah mereka menyadarinya atau tidak, ada beberapa bagian dari timeline mereka yang membuatku turun tangan, dan itu merupakan titik life-turning mereka. Andaikata aku biarkan mereka apa adanya, mungkin nasibnya bisa menjadi lebih buruk daripada sekarang.
Jangan salah persepsi, aku juga orang biasa. Saat aku membantu aku tidak tau bagian mana yang itu adalah titik life-turning bagi mereka hingga terlewat beberapa tahun kemudian. Banyak juga teman-teman lain yang sebenarnya bisa aku bantu atau selamatkan namun waktu itu aku tidak menyadarinya. Atau bahkan, aku merasa usahaku masih kurang, tidak maksimal. Tapi yasudahlah, memang kapasitasku saat itu hanya itu saja. Hanya orang-orang itu saja yang bisa aku selamatkan.
Mungkin dari sini aku bisa menyimpulkan… pada sejatinya manusia itu makhluk sosial… Seburuk buruknya manusia, hatinya tetap manusia jika kita mau memahaminya. Beberapa orang yang nasibnya tidak seberuntung dari kita, itu perlu dirangkul, karena bukan salah mereka juga apabila mereka punya titik awal kehidupan yang tidak beruntung. Manusia memang perlu dorongan dari manusia lain agar mereka berubah, sebelum waktu melahapnya.
Aku percaya tidak ada orang yang ingin mempuyai cita-cita menjadi parasit pada orang lain.
Apakah dengan membantu orang lain, kita juga akan terbantu? Salah satu yang harus digaris bawahi adalah jangan membantu jika kamu sendiri harus percaya mereka akan membantu kembali. Kalau tidak demikian, maka aku akan sama seperti rata-rata… Berpikir “buat apa merepotkan diri untuk membantu orang lain, lebih gampang direlakan aja, wong kita sendiri juga udah pasrah sama posisi hidup kita masing-masing”, gitu kan wkw.
Aku merasa tidak bijak bagi anak muda untuk menyerah. Pasrah itu bijak apabila kita sudah menua.
Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya paham dengan konsep karma. Jika aku membantu seseorang untuk berkembang, maka aku pun akan terbantu untuk berkembang? Aku nggak pernah punya pikiran seperti itu. Namun, aku juga tidak mengira aku perlu sentuhan tangan orang lain agar selamat dari titik “life-turning” dalam beberapa tahun terakhir. Entah itu karma atau tidak, aku tidak paham.
Keputusan untuk Bertahan Sejenak
Apa yang aku mulai, harus aku selesaikan dengan benar. Tidak bijak rasanya kalau kita loncat sesuka hati tanpa melihat kondisi sekitar.
Dari dulu aku orang yang gak suka gabut. Kalau sudah ada waktu senggang, 4-5 project aku lahap sekalian. Karena bagiku tiap bulan harus ada progress atau hal yang baru. Ada kalanya ketika aku kesal sendiri kalau sebulan dua bulan nggak ada progress atau hal baru yang jelas.
Karena kerjaanku sudah ngantor begini, aku punya ketakutan kalau aku akan cepat bosan. 5 hari seminggu mengerjakan hal yang sama ditempat yang sama… Ya semoga manajerku masih punya banyak task yang greget-greget biar aku gak kegabutan pas kerja wkwk. Aku juga akan menyiapkan banyak hal lain yang bisa aku kerjakan diluar jam kerja, khususnya improvisasi diri, serta beberapa projectku sendiri yang sudah berjalan.
Bak seperti kapten pelaut menunggu tiupan angin searah dengan tempat tujuan, aku kan menunggu waktuku untuk menanjak di dunia karir… entah itu 6 bulan, 1 tahun, atau bahkan 3 tahun.
[…] Kebetulan saja, aku berada di posisi ini, 2 minggu yang lalu. […]