Menunggu itu Fatal

Durasi membaca: 6 menit

Aku punya big plans untukku sendiri… Aku sendiri sudah punya pandangan apa dan bagaimana urutan big decisions yang harus aku ambil ketika waktunya tiba hingga 5-10 tahun mendatang.

Yang menjadikanku bimbang… Apakah “menunggu” juga merupakan bagian dari rencana. Banyak hal yang bisa menjadi alasan kenapa orang harus menunggu sebelum bertindak… Menunggu HP rusak dulu sebelum upgrade, misalkan.

Menurutku adalah hal yang lumrah ketika orang tua mengharapkan banyak perubahan yang signifikan ketika kita menyelesaikan studi agar kita juga dapat menghadapi dunia luar apalagi bisa berbakti kembali pada mereka. Masalahnya, berapa lama mereka kuat bertahan untuk menunggu kita berkembang itu sangat variatif.

Pepatah mengatakan, ketika jalan kita tidak mulus, boleh saja kita belok, merubah jalan dan arah, asalkan tujuannya tidak berubah. Menurutku akan berbahaya ketika tujuan hidup kita berubah-ubah, karena semakin tua kita semakin banyak membawa beban kehidupan, dan ketika kita merubah tujuan hidup, bisa jadi kita kembali jalan yang berliku-liku, struggle kembali seperti nol.

Perbedaan antara umur 20 dan umur 30 itu sangat signifikan. Umur 20 umumnya kita gak punya beban apa-apa, cuma tanggung jawab untuk bisa mandiri, studi, dan improvisasi diri. Umur 30 amit-amit kalau masih belum punya keluarga sendiri.. sudah harus bisa melindungi orang tua juga, minimal dari segi ekonomi. Amit-amit kalau di umur 30 kalau karirnya masih terpontang-panting…. Gimana nasib orang yang di bopong dia?

Itu adalah ketakutan dari kebanyakan milenial pada umumnya…. Yang melek sama situasi mereka sendiri, sayangnya.

5 Stages of Grief

Dilema atau ketakutan milenial yang aku sebutkan diatas… Mungkin cuma bayanganku saja… Mungkin cuma aku saja yang berhalusinasi, dunia masih baik-baik saja meskipun aku tidak merubah apa-apa.

Internet menjelaskan tentang 5 tahap ketidakpuasan. Bagaimanapun kamu tidak senang dengan kondisi kehidupanmu saat ini… kamu akan berada di titik untuk menerima realita. Kita memang diajarkan untuk menerima kenyataan, merasa cukup saat itu cukup (atau dalam bahasa arab, qona’ah).

Sayangnya, kebanyakan minenial merasa cukup ketika dirinya sendiri saja yang cukup. Gak perlu ada kapasitas lebih untuk membantu saudara atau bahkan teman yang jauh.

Bahkan, kalau sikap qona’ah itu dibawa sampai ke situasi ekstrim, pengamen bisa saja berdalih menjadi pengamen saja, karena “rejeki sudah diatur sama tuhan”.

Rejeki memang sudah diatur sama yang atas. Namun, tuhan juga tidak menurunkan hujan rejeki tanpa sebab akibat. Menurutku… Orang yang merasa cukup untuk mereka sendiri, ya pasti cukup buat mereka sendiri aja… Ngapain ambisi untuk mendapatkan lebih, gitu kan.

Kebetulan saja, aku berada di posisi ini, 2 minggu yang lalu.

Bak seperti kapten pelaut menunggu tiupan angin searah dengan tempat tujuan, aku kan menunggu waktuku untuk menanjak di dunia karir… entah itu 6 bulan, 1 tahun, atau bahkan 3 tahun.

Aku merasa ada yang janggal sejak itu aku tulis…..

Orang-orang yang tidak mau menunggu

Orang Asia terkenal sebagai orang yang disiplin dan kerja keras. Aku percaya ini dikarenakan kebanyakan orang Asia yang melancong ke dunia barat adalah orang Mandarin atau masyarakat Tinghoa. Orang Tionghoa memang percaya sekali dengan keajaiban dari kerja keras, lihat saja bagaimana Cina menjadi negara adikuasa setelah 60 tahun bangkit dari status negara yang miskin.

Baru baru ini juga orang India naik daun juga karena banyak sekali mereka yang berkarir di luar negeri dan bahkan mengisi laga-laga penting seperti CEO nya Microsoft, Satya Nadella, CEO nya Google Sundar Pichai.

Jika kita melihat Bio nya orang-orang penting orang luar dan dalam negara, mereka seperti orang yang tidak mengenal batas atau menunggu momen. Mereka yang sukses kebanyakan merupakan orang yang “risk averse”, orang yang berhati-hati dalam melakukan langkah yang penting.

Menjadi orang yang Risk-Averse

Aku adalah orang yang sangat percaya kalau kita stuck diantara dua jalan atau tujuan, lebih baik kita memilih salah satu dulu, kemudian kita lihat apakah kita perlu mengubah tujuan itu atau masih sama, daripada menunggu waktu habis untuk kita yakin dulu.

Jika kita dikasih pertanyaan ya/tidak. Sebenarnya pilihan nya ada tiga — “Ya”, “Tidak”, dan “Nanti”. Ini berlaku untuk semua jenis tindakan. Misalkan ketika kita diajak “Mau makan nasi goreng?”, jika kita jawab “nanti”, orang yang nanya akan menanggapi jawabanmu antara “tidak”, yang berarti kamu ditinggal makan sendiri, atau “nanti”, yang berarti orang itu juga ikut menunggu, yang brarti mungkin kita juga maksa dia buat menahan lapar lebih lama lagi.

Hal yang sama berlaku kita ditanya “mau studi lagi?”, “kerja dimana?”, “kapan nikah?”, ketika kita jawab “belum” atau “nanti”, yang menanggung mental paling berat sebenarnya orang tua… Sekali lagi, daya tahan orang tua berbeda-beda. Namun aku rasa, selama kehidupan kita “belum stabil”, orang tua terkadang juga take the blame, kayak mikir apa kita nggak dididik yang benar atau butuh dorongan bagaimana lagi….

Semua orang yang sedang di tahap quarter life crisis pasti menjawab “nanti” ketika ditanya kehidupan, karena jaman sekarang standar kehidupannya naik signifikan, butuh waktu untuk melalui banyak rintangan. Padahal, jawaban “nanti” itu jawaban yang berbahaya, karena disaat inilah waktu bagaikan emas, pasti mahal untuk dibuang, baik untuk diri kita sendiri maupun orang tua.

Jadi sebagai milenial yang punya advantage untuk berpikir kritis… Kita harus tau, kenapa kita jawab “nanti”… Harus tau letak blockernya dimana… Misal ketika aku jawab “mau studi lagi?” dengan “nanti”, aku harus tau kenapanya…. Kalau bisa tahun ini kenapa tahun depan… Kenapa aku nggak berani jawab “tidak”, apakah iya aku membutuhkan studi lanjut, apakah aku terkendala waktu, biaya, administrasi, otak atau bagaimana… Kita harus tegas dengan tujuan hidup kita masing-masing.

Sebenarnya aku juga ditanya lagi tentang lanjut studi dan memulai memikirkan kembali… Harus tegas “Ya” atau “Tidak” atau aku harus menelan keegoisanku dengan jawaban “nanti” dengan embel2 untuk studi LN dengan menelan resiko besar semacamnya yang gak ingin aku utarakan sekarang. Itu urusanku sih, lu gak perlu tau wkw.

Solusi paling baik apabila kita berani menjawab “nanti” adalah menjadi orang yang risk averse. Ketika kita jawab dengan “nanti”, itu berarti sebenarnya kita ingin, tapi gak berani untuk mengambil langkah sekarang, karena resiko yang ditimbulkan. Life-changing questions pasti mempunyai resiko yang luar biasa tinggi. Yang bisa kita lakukan saat itu adalah kita harus meminimalisir resiko yang ditimbulkan, dengan cara menumbuhkan skill dan karir yang diperlukan. Keyakinan akan tumbuh ketika kita prepared.

Itulah mengapa aku bilang di paragraf awal, lebih baik salah jalan lalu dibenarkan daripada menunggu jalan yang benar muncul. Aku sering kali melakukan hal yang demikian, juga dibacking dengan ide dari artikel top dari WBW ini:

Diagram / Framework untuk memilih karir, baca lebih lanjut di WBW.

Begitu juga artikelku yang menjelaskan tentang mindset entrepreneur, aku kutip kembali disini:

5 tahun pertama hidupmu, keluar dari sekolah, harusnya 100% bertumpu pada hidup melalui suatu hal yang menurutmu paling jelas. Alias, kamu harus rela kehidupanmu buruk, kamu harus rela makananmu buruk, kamu harus rela bekerja secara gratis, karena aku tidak bercanda, cara pasti untuk menang adalah dekat dengan siapapun yang posisinya ada di tempat yang kamu inginkan.

— Gary Vee

Dari sini aku menarik kesimpulan, bahwa di umur 20-an ini, menunggu adalah fatal, karena mungkin kita akan melewatkan kesempatan emas untuk menanjak karir dan membangun berlapis-lapis keamanan hidup untuk orang-orang yang kita perlu lindungi nantinya.

Mungkin terdengar seperti egois, seperti mengajak manusia untuk tidak pernah cukup. Namun cukup itu relatif, dan aku rasa hanya memikirkan cukup untuk diri sendiri saja itu juga egois di level yang berbeda.