Muslim dan Atheis di saat yang sama

Durasi membaca: 6 menit

Mungkin aneh bagi orang lain, namun aku suka bermain The Why Game. Sering aku terus menanyakan kembali, kenapa? dan kenapa. Seperti, kenapa aku main game? kenapa aku suka nasi goreng? kenapa aku suka ngoding? Kenapa aku bisa hidup?

Aku tahu kalau aku mulai memainkan The Why Game pada nasib, agama, bahkan tujuan hidup, semuanya bakal menjadi tabu. Bolehkah kita berpikir sejenak dan skeptis untuk mencari kebenaran tentang tuhan dan ajaran-ajarannya? Jelas sekali tabu, namun hal itu tidak menghentikanku untuk belajar untuk meneliti orang lain: bagaimana mereka bisa menjadi atheis?

Entrepreneur dan Peneliti dunia, seperti Elon Musk, Bill Gates, Stephen Hawking, adalah atheis. Sebagai orang terkaya didunia, apakah mereka pelit? rakus? Tidak, bahkan mereka masih berinovasi dan berkontribusi jauh lebih dari yang bisa kita capai. Jadi apakah orang atheis cenderung lebih lebik baik? Kenapa?

Yang aku pahami, mereka mungkin tidak percaya pada tuhan, tapi tidak sampai mengklaim bahwa tuhan tidak ada. Mereka mungkin hanya tidak percaya dengan tatacara agama menyembah tuhan, atau apakah agama satu dengan agama lain lebih benar? Kalau setiap agama meyakini mereka sendiri benar, lalu siapa yang benar? Orang yang kritis dalam hal ini pasti suatu saat keluar menjadi atheis, karena, lihat saja berapa banyak konflik dan perang hanya gara-gara beda kepercayaan? Apalagi abad pertengahan dulu seperti perang salib? atau perang dunia yang disulut oleh Hitler?

Tidak bisa dipungkiri, sekali kamu mengetuk pertanyaan pada keyakinanmu sendiri, otakmu akan terbuka untuk menantang status-quo yang berdiri dihadapanmu. Ini berarti karena Atheis tidak punya agama, mereka bebas menentukan kepercayaan mereka sendiri, yang bisa berarti bagus ataupun tidak.

Contoh saja, Elon Musk. Dia percaya kita berada di dalam simulasi. Kau dan aku tidak jauh berbeda dari sebuah komputer yang berjalan. Elon Musk sama, dia berpikir layaknya sebuah A.I., dan akibatnya, dia sendiri tidak pernah puas dengan karyanya sendiri, dia berpikir otak layaknya sebuah software, perlu diupgrade sesuai situasi dan kondisi, sehingga dia pun kerja keras layaknya mesin, dan terus berimprovisasi. Kita bisa menganggap ini gila, tapi berhasil membangun 4 lebih perusahaan sebesar sekarang, masihkah kita anggap dia manusia?

Tidak hanya entrepreneur besar, banyak peneliti dan creator jaman sekarang pun atheis. Apakah dengan menjadi atheis membuat otak mereka bebas? Mungkin. Aku saja tidak akan melupakan quote legendaris dari Fullmetal Alchemist, anime yang popular waktu itu:

Adalah sebuah ironi bahwa peneliti sains yang tidak percaya pada tuhan, justru menjadi yang paling dekat dengan tuhan (Edwald Elric – Fullmetal Alchemist)

Boi, aku sendiri pun terheran-heran. Dan memang banyak teori dan kepercayaan baru yang aku temukan di berbagai kalangan atheis yang aku baca. Namun singkat saja, aku ingin membuat kalian terkesan dengan dua kepercayaan yang banyak di sebutkan atau menyamai di berbagai sumber media yang aku baca. Singkat saja dua kepercayaan itu adalah Stoicism dan [Optimistic] Nihilism. Percaya atau tidak, dua-dua nya sudah ada sejak zaman yunani kuno.

Aku tidak akan mengulang tentang dua filosopi tersebut. Kamu bisa saja mencari mereka di internet. Namun yang jelas, aku sudah lama mengetahui dua filosopi tersebut dan keduanya sangat jelas sekali membantuku dalam berbagai masalah hidup.

Stoicism mengajarkanku untuk mengetahui apa yang bisa aku kendalikan, dan yang tidak. Hal lumrah seperti berita, cuaca, topik yang viral, frustasi di tengah pekerjaan; aku tak perlu merespon yang aneh-aneh. Lagian untuk apa? Justru, aku fokus kedalam hal yang bisa aku kontrol, seperti hal yang aku kerjaan sekarang dan persiapkan untuk besok. Aku lebih suka merespon chat orang-orang yang aku kenal daripada merespon berita viral, lagian aku bisa apa? Aku juga bukan seorang influencer.

Kemudian, Stoicism mengajarkanku untuk selalu berekspetasi nol. Hal yang tidak sesuai ekspetasi, tidak perlu disesali. Lagian untuk apa? Aku tidak bisa memutar waktu kembali. Yang bisa aku lakukan adalah mempelajari kesalahanku sendiri sehingga aku lebih baik. Konsep seperti ini sangat membantuku untuk selalu teliti dan mempersiapkan kemungkinan terburuk, sehingga aku tidak perlu (jarang banget malah) minta bantuan orang lain.

Optimistic Nihilism ini beda konsepnya. Nihilism berarti mempercayai konsep bahwa kita memang sebutir debu; sehingga hal yang kita lakukan, kita sukai, kita benci, semuanya bakal sirna, ujung-ujungnya tidak penting. Namun kita berusaha untuk lebih optimistic, yang berarti kalau kita memang tidak mempunyai tujuan tertentu, maka kita sendiri yang bebas menentukan tujuan untuk hidup.

Apa artinya bagiku? Sangat besar. Aku sendiri dulu dihantui oleh kata-kata, “tujuan untuk hidup adalah beribadah”. Namun apakah berdiam diri di tempat ibadah terus itu benar? Orang yang religius seperti lingkunganku pasti sulit untuk mencerna filosofi ini, namun bahkan Gus Baha’ (Gus ngetrend yang terkenal itu) pernah bilang, orang yang jadi security pun bisa dibilang ibadah. Ini bisa dimaksudkan agar masyarakat lebih fleksibel menghadapi agama daripada akhir-akhir ini yang dilakukan oleh kalangan frontal. Namun tentu nggak pernah bisa sampai sejauh Optimistic Nihilism.

Selain itu, Optimistic Nihilism juga mengajarkanku untuk lebih fokus dan percaya diri dalam memilih karir. Bagaimana bisa? Sudah lama aku ingin berubah dari introvert menjadi ekstrovert, menjadi orang yang suka bergaul, namun karena aku gagal terus, ini membuatku anxiety. Tidak lama sampai aku mencerna Optimistic Nihilism, aku sadar bahwa introvert atau extrovert, bukan penentu utama untuk aku sukses. Dan ternyata benar, sukses tidak ditentukan dari keadaan lahir. Kita sendiri yang menentukan ukuran sukses itu bagaimanapun caranya.


Aku pengen recap dulu karena artikel ini udah panjang. Jadi dua filosofi ini, nggak untuk semua orang. Karena sering juga orang jadi salah kaprah karena mempercayainya. Contoh saja, beberapa penganut Stoicism percaya bahwa meski dalam keadaan kesusahan, kelaparan, kesedihan, harus tetap percaya diri dan berspektasi nol. Ini justru yang berbahaya, karena bikin nggak peka terhadap keadaan sekitar dan membahayakan diri sendiri. Lagian sebenarnya tidak salah apabila kita minta bantuan orang lain.

Sedangkan penganut Nihilism, bisa saja karena percaya kalau ujung-ujungnya tidak berarti apa-apa, berarti semua hal di dunia ini tidak penting. Ini berbahaya, karena bisa bikin orang pasif, malas dan tidak percaya diri. Sedangkan beberapa orang bisa saja menjadikan ini senjata, karena tidak ada yang penting didunia ini, orang tersebut bisa berbuat kerugian atau kerusuhan yang berdampak negatif pada orang lain demi dirinya sendiri. Beberapa orang yang putus aja bisa saja menjadikan ini dasar alasan untuk bunuh diri sendiri, karena nggak ada yang penting di dunia ini.

Aku tidak tau efeknya ke kalian, jadi anggap saja artikel ini sebagai refleksi diri. Aku sendiri belajar konsep tersebut sudah jauh, sejak 2017. Niklas Goke dan Kurzgesagt. Jadi apakah aku nanti jadi atheis? mungkin tidak, ya memang agama adalah nasib (seandainya aku lahir di india agamaku berbeda pastinya kan) namun bukan menjadi alasan untuk murtad juga. Aku sendiri setelah mempelajari ini semua, lebih rajin sholat 5 waktu loh wkw, selain bagus untuk spiritual, juga bagus buat break mental dikit biar lebih produktif. Kamu boleh aja bilang nyampurin agama sendiri sama kepercayaan yunani kek gimana gitu, But in the end, it does not even matter šŸ™ƒ